BUDIDAYA UDANG WINDU
01
PENERAPAN BEST MANAGEMENT PRACTICES (BMP)
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU
(Penaeus monodon Fabricius) INTENSIF
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2007
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
Dr. Ir. M. Murdjani, M. Sc
Penyusun
Ir. Zaenal Arifin, M. Sc
Ir. Darmawan Adiwidjaya
Ir. Ujang Komarudin, M. Sc
Ir. Abidin Nur, M. Sc
Ir. Adi Susanto, M. Sc
Drs. Arief Taslihan, M. Si
Ir. Kade Ariawan
Ir. Maskur Mardjono
Erik Sutikno, SP
Supito, S. Pi
Ir. M. Syahrul Latief, M. Si
Editor
Ir. Zaenal Arifin, M. Sc
Dr. Ir. Coco Kokarkin, M. Sc
Drs. Tri Prasetyo Priyoutomo
KATA PENGANTAR
Perkembangan budidaya udang windu kini dihadapkan pada suatu kondisi yang
kurang menggembirakan. Rangkaian kegagalan yang diakibatkan oleh kombinasi
berbagai faktor memerlukan solusi dan jalan keluar yang komprehensif; dengan
melibatkan multi-disiplin ilmu dan keahlian untuk bekerja secara sinergis. Di samping it
dalam era perdagangan global dewasa ini, proses produksi perikanan budidaya –dalam
hal ini udang tambak– mesti memenuhi kriteria food safety yang telah disepakati oleh
masyarakat dunia; baik menyangkut hazard analysis (HACCP), Best Management
Practices (BMP), hingga persyaratan ramah lingkungan (environmental controls).
Walaupun udang windu merupakan komoditas unggulan bagi sektor perikanan
budidaya, namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi tambak udang di Indonesia
hampir selalu tertinggal, berbagai permasalahan dan kendala yang terus merebak lebih
cepat. Akibatnya budidaya udang windu menjadi terpuruk dan tidak mudah untuk
bangkit kembali. Semakin besarnya beban pencemaran di wilayah pantai, merebaknya
berbagai jenis penyakit hingga faktor sosial-ekonomi yang tidak kondusif, semakin
menempatkan usaha budidaya udang pada posisi yang kian labil. Tidak kurang dari
80% lahan tambak udang yang pada era tahun 80-an sangat produktif, kini menjadi
lahan kosong, atau dialihkan menjadi tambak garam tradisional.
Beberapa konsep teknologi tambak udang telah dikaji oleh BBPBAP Jepara atau
pihak lain yang berkompeten. Namun perlu diakui bahwa tidak mudah menyebarkan
teknologi tersebut secara utuh kepada petambak dengan kondisi lahan, sosial ekonomi,
dan karakeristik petambak yang sangat variatif. Upaya diseminasi yang diprogramkan
untuk mempercepat penyebaran teknologi seringkali terkendala oleh faktor teknis dan
non-teknis, sehingga upaya pembaruan prosedur operasional budidaya merupakan
suatu pilihan yang harus dilakukan.
Standard Operational Procedures (SOP) ini disusun berdasarkan pengalaman
teknis BBPBAP di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir. Buku ini juga
dilengkapi dengan berbagai informasi dari para pakar dalam dan luar negeri. Standar ini
dapat dipergunakan sebagai rujukan pengembangan teknologi budidaya udang dengan
pola intensif, atau juga tingkatan teknologi yang lebih rendah seperti pola semi intensif.
Kami menyadari bahwa masih ada bagian-bagian yang terlewatkan atau tidak
sempurna. Untuk itu saran dan masukan akan kami terima dengan baik.
Semoga bermanfaat.
Jepara, Mei 2007
Kepala Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara
Dr. Ir. M. Murdjani, M. Sc.
NIP. 080053497
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ........................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... vi
I. PENDAHULUAN .............................................................. 1
II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA ....... 3
III. DISAIN DAN TATA LETAK TAMBAK ............................... 4
3.1. Lokasi dan jenis lahan ................................................. 4
3.2. Bentuk petakan ........................................................... 4
3.3. Peran dan bentuk saluran pembuangan ........................ 6
3.4. Pintu dan pengeluaran lapisan air ................................. 8
3.5. Caren (peripheral canal) .............................................. 10
3.6. Penempatan kincir, pengaturan arah kincir dan caren
internal .......................................................................
10
3.7. Sumber tenaga listrik ................................................... 11
3.8. Peralatan monitoring kualitas air .................................. 11
IV. PERSIAPAN TAMBAK ...................................................... 13
4.1. Konstruksi .................................................................. 13
4.2. Tanah dasar ............................................................... 15
4.3. Air .............................................................................. 17
V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN
BENIH ............................................................................. 25
5.1. Pemilihan benih .......................................................... 25
5.2. Transportasi ............................................................... 28
5.3. Penebaran benih ......................................................... 28
VI. MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR .................................... 30
6.1. Pengisian air ............................................................... 30
6.2. Penggantian air ........................................................... 30
6.3. Manajemen kualitas air ................................................ 32
6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan dan panen ..... 43
6.5. Aplikasi probiotik ......................................................... 43
VII. MANAJEMEN KESEHATAN UDANG ................................. 45
7.1. Penyakit udang ........................................................... 45
7.2. Monitoring kesehatan udang ........................................ 53
7.3. Perlakuan pada abnormalitas non patogenik ................. 55
7.4. Pencehagan umum ...................................................... 56
7.5. Teknik sampling, pencatatan dan analisa data ............... 57
VIII. PENDUGAAN POPULASI DAN PENENTUAN PAKAN ...... 59
8.1. Sampling .................................................................... 59
8.2. Penentuan dosis dan frekuensi pakan ........................... 61
IX. PENENTUAN DAN STRATEGI PANEN ............................. 63
9.1. Pertimbangan panen ................................................... 63
9.2. Penentuan waktu panen .............................................. 63
9.3. Strategi pelaksanaan ................................................... 64
X. ANALISA USAHA ............................................................ 67
DAFTAR TABEL
Tabel
halaman
1. Jumlah kapur yang diberikan (kg/Ha) berdasarkan pH .................... 17
2. Kisaran kualitas air pasok yang ideal untuk budidaya udang ........... 18
3. Kriteria kuantitatif benur udang windu .......................................... 27
4. Perhitungan teknik transportasi PL udang yang direkomendasikan .. 28
5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi .......... 32
6. Jenis kapur dan penggunaan ........................................................ 33
7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu
berbeda ...................................................................................... 36
8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen ............................ 43
9. Jenis-jenis virus yang menginveksi udang penaeid ......................... 47
10. Inang yang terdeteksi virus DNA secara alami maupun
eksperimental .............................................................................. 48
11. Inang yang terinfeksi virus RNA secara alami maupun
eksperimental .............................................................................. 48
12. Standar kesiapan tambak pada penebaran benih udang ................. 54
13. Jenis penyakit umum dan teknik pengobatannya ........................... 55
14. Pemberian pakan yang disesuaikan dengan umur dan ukuran udang 61
15. Pengaturan diet setelah melihat respon udang di anco ................... 61
16. Analisa usaha budidaya udang windu teknologi intensif .................. 67
DAFTAR GAMBAR
Gambar
halaman
1. Disain dan layout tambak ............................................................. 3
2. Beberapa disain tambak ............................................................... 6
3. a. Sistem pembuangan lumpur tengah dengan buis beton
berlubang ..............................................................................
b. Sistem pengeluaran lumpur tengah dengan buis beton berpipa
(pola matahari) ......................................................................
c. Sistem pengeluaran dengan pipa tegak berlubang di dalam
tambak ..................................................................................
d. Sistem pengeluaran dengan pipa tidur berlubang di dalam
tambak ..................................................................................
6
7
7
8
4. a. Pintu monik beton (elevasi, ukuran, perlengkapan) ...................
b. Pintu monik gorong-gorong .....................................................
c. Pintu air monik untuk mempermudah pengaturan level/lapisan
air yang akan dibuang pada pintu yang berdimensi besar ..........
8
9
9
5. a. Mengubah arah kincir bertahap ke arah caren tengah ...............
b. Arah kincir tetap, banyak caren yang disifon (dihisap pompa)
secara berkala ........................................................................
10
10
6. Sumber tenaga listrik ................................................................... 11
7. Peralatan analisa kualitas air ........................................................ 12
8. a. Pembalikan tanah dasar tambak ..............................................
b. Pengapuran setelah dilakukan pembalikan tanah ......................
17
17
9. Contoh kawasan pertambakan udang ............................................ 20
10. Sistem biosecurity pada budidaya udang intensif ........................... 23
11. Kegiatan pemanenan benih udang ................................................ 27
12. Penebaran benih ......................................................................... 29
13. Air buangan dari hasil budidaya udang intensif .............................. 31
14. Pengaturan blower ...................................................................... 41
15. Virus penyebab penyakit bercak putih ........................................... 46
16. Udang yang terserang virus bercak putih viral ............................... 46
17. Selain bercak putih, udang juga berlumut ...................................... 47
18. Penyakit udang kerdil, karena infeksi IHHNV ................................. 49
19. Inveksi monodon baculovirus ....................................................... 50
20. Hasil elektroforesis dari PCR ......................................................... 50
21. Penyakit nekrosis bakterial ........................................................... 52
22. Penyakit udang kotor ................................................................... 52
23. Sampling udang menggunakan jala ............................................... 60
24. Panen dengan menggunakan jala tebar ......................................... 65
25. Sortir udang berdasarkan ukuran dan kualitas ............................... 66
I. PENDAHULUAN
Kondisi Budidaya Udang Windu
Intensifikasi diartikan sebagai peningkatan hasil dengan menambah input
produksi tanpa adanya perluasan lahan. Dengan perkataan lain intensifikasi
adalah peningkatan hasil produksi dengan memaksimalkan daya dukung lahan
yang ada. Terdapat sebuah relevansi yang erat antara produksi dengan daya
dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung lingkungan (atau hasil
produksi), dapat diperbesar sampai pada tahap tertentu, bukannya tanpa batas.
Dan perlu diketahui bahwa daya dukung lahan adalah suatu yang dinamis, akan
berubah setiap saat. Karenanya budidaya udang windu intensif adalah proses
produksi biomass yang hasilnya dapat ditargetkan pada besaran tertentu, sejauh
persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan dapat dipenuhi
untuk persyaratan hidup yang normal. Usaha budidaya udang windu intensif
pernah menunjukkan hasil yang memuaskan, hingga Indonesia menjadi salah
satu produsen udang papan atas di dunia yang pada tahun 1994 mampu
mencapai angka produksi 160.000 ton/tahun.
Ternyata masa kejayaan udang windu terhenti setelah adanya serangan
penyakit virus yang menginfeksi udang di tambak dan bahkan mencemari induk
udang di laut. Harus diakui bahwa rangkaian keberhasilan produksi pada masa
lalu, ternyata tidak menyisakan prosedur baku yang dapat diterapkan untuk
mengulang keberhasilan tersebut di masa kini. Karenanya, alasan keberhasilan
atau pun kegagalan budidaya pada masa sekarang adalah merupakan interaksi
beberapa faktor sekaligus dilakukan di suatu tempat pada waktu tertentu,
cenderung tidak replicable, sehingga pelaksanaan budidaya terkesan menjadi
sangat subyektif (bergantung kepada intuisi dan kejelian teknisi, dibanding
berpedoman pada kaidah-kaidah budidaya yang umum).
Pada tahun 1995, Balai Budidaya Air Payau (sekarang BBPBAP) Jepara
mengembangkan teknologi resirkulasi tertutup pada tambak udang windu
dengan menerapkan biofiltrasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan bandeng,
kekerangan dan rumput laut. Kemudian pada tahun 1998 mulai dikaji teknologi
sistem tertutup dengan proteksi ganda yang melibatkan sterilisasi media dan
seleksi/pemilahan benih berkualitas dengan peluang keberhasilan yang sangat
tinggi (lebih dari 80%) saat itu. Namun dewasa ini langkah-langkah tersebut
sudah tidak menjamin keberhasilan usaha produksi sehingga masih perlu
disempurnakan.
Beberapa pendekatan baru mulai dikembangkan walaupun masih
memerlukan pengkajian lebih lanjut. Misalnya saja penerapan probiotik, konsep
penyeimbangan C/N rasio dan aplikasi imunostimulan. Bahkan introduksi spesies
baru dari luar negeri seperti udang rostris (Litopenaeus stylirostris) dan udang
vaname (L. vannamei) telah pula dilakukan untuk meningkatkan produksi udang
dalam negeri.
Titik terang akan pemecahan sederet masalah memang sudah muncul.
Misalnya kesadaran terhadap konsep biosecurity, penggunaan benih unggul
(high health), sistem budidaya terpadu, best management practices, yang
berbasis pada penerapan budidaya ramah lingkungan mulai dianut para
petambak sesuai tingkat pemahamannya. Namun tidak sedikit pula yang masih
bertahan pada pola lama karena berbagai keterbatasan. Kemajuan di bidang
penyakit (manajemen kesehatan hewan akuatik) telah membawa babak baru
dalam perkembangan budidaya udang windu. Dewasa ini telah berhasil
diidentifikasi berbagai patogen mematikan yang hampir selalu hadir dalam
pertambakan udang kita. Mulai dari penyakit vibriosis (karena Vibrio harveyi),
penyakit virus bercak putih/panuan atau systemic ectodhermal mesodhermal
bacculo virus (SEMBV), hingga Taura syndrom yang merupakan pendatang dari
benua Amerika. Kesadaran akan wabah penyakit melahirkan sikap lebih berhatihati
para petambak dalam melakukan usaha budidaya udang windu.
Dengan banyaknya kegagalan dan terus menurunnya produksi tambak
udang windu di Indonesia, BBPBAP memandang perlu melakukan evaluasi dan
pembaruan terhadap prosedur yang selama ini menjadi pedoman dalam
mengelola tambak. Teknologi yang telah dikembangkan dalam tahun-tahun
terakhir, dirasa perlu untuk dikompilasi dan diterbitkan dalam satu panduan
lengkap yang dapat dipakai acuan para petambak. Sebetulnya, prosedur ini
bukanlah suatu harga mati, karena pada kenyataannya akan ditemui berbagai
variasi yang spesifik lokasi/lahan, yang tentu saja membutuhkan kreasi dan
kecerdikan dari operator tambak yang menanganinya. Pada intinya, Standard
Operational Procedures (SOP) budidaya udang windu, diharapkan dapat menjadi
pendamping dalam melaksanakan budidaya udang windu yang lestari.
II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA
Pengelolaan tambak dengan prinsip Best Management Practice (BMP)
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
• Mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang
berbahaya.
• Tambak dapat menampung air dan mempertahankan kedalaman sesuai
yang diinginkan (tidak rembes).
• Mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut
yang rendah.
• Dapat menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.
• Menggunakan bahan kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia dan
lingkungan.
• Menebar benih yang sehat.
Untuk memenuhi persyaratan di atas maka unit tambak terdiri dari :
• Saluran pengairan (sumber air pasok).
• Unit tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak
biofilter).
• Petak pemeliharaan.
• Petak pengolahan limbah.
Secara diagramatik, pengaturan petakan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini
PT = Petak Treatment
PAS = Petak air siap pakai berisi ikan omnivora- herbivora (bandeng-mujair jantan/
nila jantan - belanak)
PT
PU PU PU
S S
SPN
Sungai/Laut
(Air Payau)
UPL
PAS
U = Petak pembesaran udang
SS = Saluran sedimentasi
SPN = Saluran penyerapan nutrient terlarut (rumput laut)
UPL = Petak pengolahan limbah (oksidasi dan pohon bakau)
Gambar 1. Disain dan lay out tambak
III. DISAIN DAN TATA LETAK TAMBAK
3.1. Lokasi dan Jenis lahan
Pembangunan tambak intensif dapat memanfaatkan lahan marginal
(tidak termanfaatkan) seperti misalnya rawa-rawa, lahan pasir, lahan pirit atau
gambut namun disesuaikan dengan konstruksi dasar dan pematang sebagai
contoh:
a. Konstruksi biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
b. Konstruksi plastik PE, Geotextile.
c. Konstruksi plastik berlapis pasir.
d. Dasar semen/concrete.
e. Konstruksi batako/bata merah.
f. Konstruksi bata putih (kapur gunung).
g. Konstruksi tanah liat.
3.2. Bentuk Petakan
a. Bentuk petakan : lingkaran, bujur sangkar atau empat persegi panjang
(1: 2).
b. Memiliki sudut tumpul.
c. Sisa lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan
sebagai tandon.
d. Luas ideal 3.000 - 5.000 m2.
e. Dimensi pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur tanah, dan
kedalaman air tambak (lebih dari 1.2 m). Memiliki tabel pasang surut
dan gambaran pasang surut lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk
pematang utama.
f. Dimensi saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena
pasang surut lokal dan simpangan waktu.
g. Peletakan sarana listrik tertata rapi
Tolok Ukur Pekerjaan :
a. Tidak ada titik mati di dalam tambak.
b. Efektif dan efisien dalam hal abtara lain penggunaan lahan,
penggunaan kincir, penanganan.
c. Pematang memiliki aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4.
d. Tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal.
e. Jaminan keamanan dan keselamatan kerja tinggi.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah
mengeluarkan limbahnya adalah tambak lingkaran atau bujur sangkar dengan
sudut melengkung. Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada
salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi
saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah
peletakan kincir air tunggal atau berangkai seperti contoh berikut ini.
a) Desain Tambak ukuran 4000 m2 lingkaran dan bujur sangkar dan
pengaturan Kincir 1.5 HP
b). Disain tambak dengan luas > 5000 m2
5-8
12 – 15 m
c) Disain tambak dengan pendorongan limbah ke titik tertentu
Pola Dorong satu arah Pola Kupu-kupu
Gambar 2. Beberapa disain tambak
3.3. Peran dan Bentuk Saluran Pembuangan
Bentuk saluran pembuangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. a) Sistim pembuangan lumpur tengah dengan buis beton berlubang
dasar
Gambar 3.b) Sistim pengeluaran lumpur tengah dengan buis beton berpipa (pola
matahari)
Gambar 3.c). Sistim pengeluaran dengan pipa tegak berlubang di dalam tambak
Gambar 3. d) Sistim pengeluaran dengan pipa tidur berlubang di dalam tambak
3.4. Pintu panen dan pengeluaran lapisan air
Contoh pintu pembuangan dan panen dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4.a). Pintu monik beton (elevasi, ukuran, perlengkapan)
Gambar 4.b) Pintu monik gorong- gorong
Gambar 4.c) Pintu ulir monik untuk mempermudah pengaturan level/lapisan air
yang akan dibuang pada pintu yang berdimensi besar
3.5. Caren (Peripheral canal)
Pada umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren
tengah juga sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung
limbah untuk selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal
bermesin) dengan diameter selang dan alat 2 inch.
a. Diperlukan pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah
rembesan atau sulit dikeringkan.
b. Luas dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan
kemampuan pompa.
c. Bila dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki
pematang, miring ke arah pintu panen.
Tolok Ukur Pekerjaan :
• Pelataran kering.
• Saat panen, udang dapat mengumpul di caren dan mengarah ke pintu
panen.
3.6. Penempatan kincir, pengaturan arah kincir dan caren internal
Gambarr 5.a) Mengubah arah kincir bertahap ke arah
caren tengah
Gambar 5.b) Arah kincir tetap, banyak caren yang disifon (dihisap pompa)
secara berkala
3.7. Sumber Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik untuk budidaya udang intensif harus mampu
memenuhi kebutuhan listrik untuk mengoperasionalkan pompa air, blower,
kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga
listrik. Sumber tenaga listrik ini bisa dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari
PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan atau dari genset. Untuk budidaya udang
intensif sebaiknya mempunyai kedua sumber listrik tersebut. Satu unit generator
pembangkit listrik harus selalu siap pakai saat terjadi gangguan listrik dari PLN
(Gambar 6).
Gambar 6. Sumber tenaga listrik
Tolok ukur pekerjaan :
Tersedia listrik 125 % dari kapasitas seluruh kincir air yang diperlukan
dalam jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan .
3.8. Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan monitoring kualitas air, penting untuk dimiliiki dalam usaha
budidaya udang secara intensif. Peralatan ini harus ada agar kualitas air di
tambak dapat dimonitor setiap saat dan dipertahankan pada kisaran optimum
untuk pertumbuhan dan perkembangan udang. Peralatan tersebut antara lain
termometer (pengukur suhu), refraktometer atau salinometer (pengukur
salinitas), DO meter (pengukur oksigen terlarut), pH meter, dan secchi disk
(pengukur kecerahan air), dan alat test kit, seperti untuk analisa alkalinitas, Nitrit
dan Nitrat, seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Peralatan analisa kualitas air
IV. PERSIAPAN TAMBAK
Persiapan tambak bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan,
dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor yang tidak
mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa faktor
yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Uraian kegiatan ini mencakup perkerjaan konstruksi secara umum, persiapan
dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut
ini:
4.1. Konstruksi
Konstruksi tambak yang ideal dapat mendukung budidaya udang bisa
dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ; mampu menahan air, mampu
membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat
dikeringkan dengan mudah dan sempurna. Namun demikian sering kali
konstruksi tambak tidak atau kurang sempurna, seperti adanya bocoran dari
samping tambak, infiltrasi (rembesan air masuk), pintu air tambak kurang baik
dan elevasi dasar tambak tidak ideal. Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka
langkah-langkah dan solusi yang harus dilakukan sebagai berikut.
4.1.1. Penutupan bocoran
Penutupan bocoran pada pematang dapat dilakukan dengan memasang
kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm dan atau ijuk (untuk
jangka panjang lebih baik). Alternatif penyumbatan dapat dilakukan dengan
menggunakan kerai bambu, gedek bambu dilapis aspal pasir. Bila kondisi
bocoran begitu berat, disarankan untuk memakai konstruksi lapisan plastik
Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen Biphenil Chloride), bata plesteran, batako,
batu kumbung, plengsengan beton, dan pasangan batu.
Tolok ukur pekerjaan :
Pekerjaan berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau maksimum kehilangan
air 5%/hari pada bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua hingga panen.
4.1.2. Rembesan masuk
Bila tambak rembes atau sangat porous maka dilakukan perbaikan
konstruksi dasar tambak sebagai berikut :
a. Dilapisi dengan tanah yang didominasi liat melebihi 50%, sedalam
minimal 20 cm.
b. Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan diatasnya dilapisi pasir 5 –
10 cm
c. Plester dasar (teknik plester pakai sistem blok)
d. Untuk elevasi dasar tambak yang lebih rendah dari permukaan air
laut, maka solusinya dengan cara menimbun dasar tambak atau
membuat pematang di saluran keliling yang kedap air.
4.1.3. Sistim pembuangan
Memastikan air dapat dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak
mengendap di pipa dan kotoran (limbah organik) dapat dikurangi, dengan cara :
a. Monik, dapat mengeluarkan air sesuai pada kolom atau lapisan
yang diuinginkan,
b. Monik harus dirancang agar dapat digunakan untuk panen sistem
kantong dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar
tahan terhadap terjangan air,
c. Mampu atau terdapat sarana untuk melakukan pembuangan setiap
2 jam setelah pemberian pakan melalui sentral drain dan kolom air
melalui pintu air atau PVC,
d. Sentral drain harus memiliki saringan yang sesuai dengan ukuran
udang.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 mampu mengeluarkan air sesuai dengan kebutuhan.
4.1.4. Elevasi dasar petakan, saluran pembuangan, dan tandon
a. Dasar petakan diatur miring kearah pembuangan dengan slope
minimal 0,2%.
b. Beda elevasi dasar antara petakan pemeliharaan dan saluran
pembuangan minimal 25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih
tinggi dari saluran tapi lebih rendah dari petak pemeliharaan. Bila
elevasi tidak sesuai maka untuk pengeringan gunakan pompa air.
c. Saluran pembuangan dapat dikeduk beberapa kali selama
pemeliharaan untuk menghindari pendangkalan oleh kotoran
tambak.
d. Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti
semula.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Air di petak pemeliharaan dapat terbuang hingga kering.
4.1.5. Rasio luas tandon : petakan pemeliharaan
Volume air yang tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum
kebutuhan air/hari dan pergantian air maksimum pada masa kritis (yaitu 30%
dari total volume tambak yang beroperasional) sehingga air yang siap pakai
dalam 1 hari harus mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak
pengendapan dan penyerapan nutrient (petak pengolah limbah), dan petak
treatment awal memerlukuan areal tambahan sekitar 20 %.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Kualitas air tandon harus lebih baik daripada air di petak
pemeliharaan.
4.2. Tanah dasar
Tanah dasar tambak harus dalam kondisi yang sesuai untuk kehidupan
dan pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar waktu hidup dan
mencari makan udang berada di tanah dasar tambak. Oleh karena itu perlu
melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
4.2.1. Pengeringan
Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk :
a. Pengatusan (drainage).
b. Penjemuran agar gas-gas sisa metabolit dapat menguap.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Kadar air setelah pengatusan mencapai batas lekat (20 - 50%).
􀂃 Kadar air setelah penjemuran kurang dari 20%.
4.2.2. Pengupasan
Pengupasan dasar tambak penting untuk dilaksanakan, terutama untuk
tambak-tambak yang sudah sering digunakan untuk pmeliharaan udang atau
ikan secara intensif.
a. Dilakukan terhadap bahan endapan yang dapat dibedakan dari warna,
tekstur, bau, dll.
b. Dilakukan pada keadaan lumpur mulai pecah-pecah, kecuali pada
tambak dengan dasar keras atau dilapisi pasir.
c. Bahan terkupas dipindahkan ke area pengurusan tanah.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Profil sedimen homogen, warna tanah kecoklatan dan tidak berbau.
4.2.3. Pengolahan tanah dasar
Pengolahan tanah dasar tambak meliputi kegiatan :
a. Pembalikan tanah dasar bila profil telah homogen untuk
menyempurnakan proses oksidasi dalam tanah (Gambar 8).
b. Pengapuran bila pH tanah kurang dari 6,0 dengan dosis sesuai
Tabel 1.
c. Pemupukan menggunakan pupuk organik yang telah diolah,
dengan dosis bergantung kesuburan tanah.
d. Untuk tanah pyrit (reduksi sulfat) dilakukan pencucian dan
pengatusan berulang-ulang atau reklamasi tanah dasar dengan
ketebalan 10 - 20 cm dan pemberian pupuk organik pada saat
tanah masih basah, kemudian pematang dikapur.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Tanah menjadi gembur.
􀂃 pH meningkat menjadi lebih dari 6.
􀂃 Bahan organik tanah 5 - 10%
􀂃 Potensi redoks > -50mV.
􀂃 Pertumbuhan fitoplankton stabil.
􀂃 Untuk tanah pyrit tidak terjadi penurunan pH air dan air tidak bereaksi
merah.
Gambar 8.a. Pembalikan tanah dasar tambak
Gambar 8.b. Pengapuran setelah dilakukan pembalikan tanah
Tabel 1. Jumlah kapur yang diberikan (kg/Ha) berdasarkan pH tanah
pH Tanah CaCO3 Ca (OH)2 CaMgCO3
> 6 < 1000 < 750 < 920
5 – 6 < 2000 < 1000 < 1840
< 5 < 3000 < 1500 < 2760
Keterangan: CaCO3 (kapur pertanian), Ca(OH)2 (kapur tohor/gamping), CaMgCO3 (dolomit)
4.3. Air
Air merupakan media hidup udang, yang di dalamnya terdapat kandungan
oksigen terlarut untuk pernafasannya, makanan dan sumber beberapa mineral
bagi udang. Oleh karena itu air yang akan digunakan untuk budidaya udang
harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Beberapa kegiatan
yang harus diperhatikan dalam penyediaan air yang berkualitas adalah sebagai
berikut.
4.3.1. Air masuk/air pasok
Hal-hal penting yang harus diperhatikan tentang air masuk adalah :
a. Pilih lokasi pengambilan air.
b. Tentukan waktu pengambilan.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Air yang diambil memenuhi syarat mutu dan jumlah (kualitas &
kuantitas).
Untuk syarat kaulitas air dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran kualitas air pasok yang ideal untuk budidaya udang
Parameter Kisaran
Salinitas
pH
Alkalinitas
Nitrit
Nitrat
Amonia
Suspensi terlarut (TSS)
10 – 35 ppt
7,5 – 8,5
90 – 150 ppm CaCO3
< 0,1 ppm
< 1,0 ppm
< 0,1 ppm
< 80 ppm
Selain persyaratan kimiawi dan fisik tersebut, air yang akan digunakan
untuk budidaya udang harus bersih dari bahan polutan, (seperti dari jenis
logam, pestisida dan bahan kimia beracun lainnya), serta air sumber tidak
keruh.
4.3.2. Pengendapan
a. Memberikan tenggang waktu tertentu sesuai dengan jumlah dan
mutu air mentah.
b. Membuat rancangan atau desain untuk memperbesar peluang
proses pengendapan.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Kadar partikel (TSS) dalam air turun hingga kurang dari 60 ppm.
􀂃 Air tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memasok kebutuhan
tambak.
4.3.3. Pemberantasan hama dan atau sterilisasi air
Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan pada tahap ini adalah:
a. Menyaring air yang masuk menggunakan kasa kelambu pada mulut
pipa pemasukan. Kasa kelambu harus dijahit rangkap dan
diperkuat dengan papan penyangga (Splashing board) atau kotak
penyangga (holding box).
b. Air baru dimasukkan ke dalam petak treatment. Atau air dapat
disaring dengan kantung saringan halus (Plankton net/kasa sablon
ukuran 160 mikron) dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m.
c. Menggunakan bahan krustasida yang memiliki daya reaksi yang
kuat, dan cepat netral, contoh: Trichlorfon (a.l Dyvon 1 ppm dan
Dipterex 2 ppm) atau Dichlorfon (a.l. Saprovon dengan dosis 0.8 –
1 ppm). Untuk menetralkan dari pengaruh bahan-bahan tersebut
diperlukan 5 – 7 hari.
d. Menggunakan bahan disinfektan Calsium hypochloride (kaporit), 15
- 30 ppm, pada wilayah dengan tingkat wabah penyakit yang
tinggi. Untuk menetralkan dari pengaruh bahan tersebut diperlukan
1 – 3 hari.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Bau khas desinfektan pada saat perlakuan.
􀂃 Populasi bakteri dan hama moluska menurun.
􀂃 Virion (partikel virus DNA-RNA) negatif.
􀂃 Pada akhir proses penetralan sudah tidak tercium bau khas
desinfektan.
4.3.4. Pengendalian penyakit dan hama melalui penanganan suatu
kawasan.
Petambak udang idealnya merupakan anggota sebuah kelompok tambak
dalam sebuah kawasan yang memiliki salah satu atau beberapa persyaratan
berikut :
a. memiliki persamaan sistem permodalan.
b. memiliki persamaan sistem teknologi (semuanya sederhana, semi
atau intensif).
c. memiliki persamaan musim tebar.
d. memiliki persamaan jenis udang yang dipelihara.
e. dan yang terbaik, bersama dalam suatu wilayah pengairan.
Persamaan kepentingan dalam suatu wilayah akan berpengaruh erat pada
kemudahan pengendalian penyakit.
Penyakit virus yang mematikan udang windu dapat dengan mudah
menular dari sebuah tambak ketambak lain yang bersisian, berbatasan pematang
dan atau memiliki saluran pembuangan atau pemasukan yang sama. Dalam
banyak kasus, tambak udang yang sehat akan mengalami kematian massal oleh
penyakit yang sama hanya dua atau tiga hari setelah sebuah tambak dipanen
prematur akibat serangan penyakit.
Pembentukan sebuah zonasi yang dikelilingan oleh saluran/tambak pinggir
yang berisi ikan ikanan (mujair/bandeng/kakap atau campuran) akan melindungi
tambak udang tertular dari saluran yang menerima limbah tambak berpenyakit.
Saluran ikan akan secara fisik dan biologis menjaga intrusi partikel virus secara
langsung pada tambak udang yang sehat sehingga akan terhindar dari rangkaian
kematian yang tidak diinginkan.
Secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah. Sebuah
kawasan pertambakan dibagi dua kelompok dan masing masing kelompok
dikelilingi oleh saluran sekunder yang sengaja diisi ikan dalam jumlah yang
cukup padat dan bernilai ekonomis.
Gambar 9. Contoh kawasan pertambakan udang
4.3.5. Pengapuran air awal
Diberikan kapur dari jenis Ca (CO3)2 dengan dosis yang sesuai nilai pH
dan alkalinitas air.
Tolok Ukur Pekerjaan :
ô€‚ƒ Alkalinitas air dengan kisaran nilai 100 – 150 ppm (diawal penebaran).
ô€‚ƒ Kisaran pH harian berkisar antara 7,5 – 8,3.
􀂃 Fluktuasi pH harian kurang dari 0,5.
4.3.6. Pemupukan & inokulasi plankton
a. Pemberian pupuk sesuai kebutuhan spesifik lokasi.
b. Pemupukan hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah desinfektan
netral.
c. Pemupukan standar adalah 3 – 5 ppm dengan rasio N : P = 2:1, atau
tergantung kandungan N dan P, serta mikronutrien di tambak.
Saluran Alam
Saluran Ikan
d. Pemupukan susulan dilakukan 2 ppm dengan rasio yang sama.
e. Inokulan dapat diberikan satu hari setelah pemupukan, berupa biomas
fitoplankton dengan target kepadatan awal 8.000 – 10.000 sel/ml,
pada pukul 09.00 sampai 13.00 atau kecerahan 40 – 50 cm.
f. Jenis inokulan adalah Chlorella murni, Skeletonema murni atau
campuran keduanya.
g. Alternatif yang lain adalah : Nanochloropsis, Chaetoceros, Tetraselmis
dan Dunaliella.
Teknik Alternatif :
a. Aplkasi krustasida misalnya Dyvon atau Saprovon 1 ppm dan piscicida
(saponin 15 ppm) pada sebuah petak/saluran yang dibendung.
b. Selanjutnya pada hari ketiga dipupuk anorganik dengan dosis 5 ppm.
c. Setelah krustasida netral (5 – 6 hari), plankton di tandon/saluran ini
akan tumbuh pekat dan dapat dipakai sebagai inokulant (bibit) di
petak pembesaran dan petak penampungan air siap pakai.
d. Setelah inokulasi, kincir dihidupkan.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 kecerahan pada hari kedua mencapai kurang dari 70 cm dan
cenderung menurun pada hari berikutnya.
􀂃 Ada perubahan warna dari jernih menjadi hijau, coklat atau hijau
kecoklatan.
􀂃 Kondisi tersebut konstan selama lebih dari 3 hari.
Alternatif Solusi :
a. Menggunakan saponin 15 ppm dan dedak halus 5 ppm yang telah
difermentasi, air fermentasi diisi dan dipakai kembali hingga 3 hari.
b. Menggunakan pupuk organik (kotoran ayam) dengan dosis 300 kg/ha
setelah melalui proses fermentasi probitik (menggunakan hasil
fermentasi).
c. Atau menggunakan keduanya (a dan b) digabungkan.
4.3.7. Sistem biofiltrasi
Biofiltrasi adalah sistem penyaringan air dengan menggunakan jasad
hidup baik berupa hewani maupun nabati, sehingga air menjadi relatif bersih dari
organisme yang tidak dikehendaki dan bersih dari unsur-unsur yang beracun
bagi kultivan (udang). Sistem biofiltrasi ini dilakukan dengan cara :
a. Memelihara jenis-jenis ikan predator, sebagai bioscreening, (contoh:
keting, kerong-kerong, kakap, payus, wering, petek dsb) di dalam
petak treatment.
b. Memanfaatkan tanaman bakau (biofilter) sebagai penyerap residu
logam berat dan pestisida (inlet & outlet) atau petak UPL.
c. Memanfaatkan rumput laut sebagai penyerap nutrient dan sumber
vitamin alami (inlet & outlet) awal, seluas 20 % wilayah tandon.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Air bebas hama penular (carier).
􀂃 Populasi hama penular tidak melimpah didalam tambak.
􀂃 Kandungan logam berat, seperti Pb kurang dari 1,16 ppm, Hg kurang
dari 0,17 ppm, Cu kurang dari 0,006 ppm dan Cd kurang dari 0,33
ppm.
4.3.8. Biosecurity (keamanan dari kontaminasi)
Konsep biosecurity biasanya diterapkan pada instalasi karantina atau
instalasi produksi pemurnian kultur jaringan. Dewasa ini, aturan internasional
menerapkan konsep ini di dalam proses produksi udang/ikan. Hal-hal yang
diterapkan (Gambar 10) antara lain :
a. Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan
masuk ke dalam unit tambak (fencing).
b. Air pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan
kantung plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m
sebanyak 3 – 5 buah di atur paralel agar tidak mudah robek.
c. Saluran keliling dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak
adanya organisme lain yang masuk atau keluar.
d. Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang
tambak lain harus melalui dua kolam : kolam pembersihan dan kolam
disinfeksi untuk menghindari adanya kontaminasi.
e. Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu
diberi disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di
salah satu tambak.
Gambar 10. Sistem biosecurity pada budidaya udang intensif
4.3.9. Keamanan bagi konsumen
Udang merupakan komoditas ekspor dengan negara negara maju (jepang,
EU, dan Amerika Utara sebagai konsumen). Posisi negara maju sebagai importir
akan tetap bertahan karena mereka berada di wilayah sub tropis yang tidak
memungkinkan untuk membudidayakan udang penaeid yang secara komersil.
Keharusan sebuah negara untuk melindungi dan membiayai kesehatan
masyarakatnya menyebabkan perhatian pada kualitas makananan yang diimpor
negara ini akan menjadi tinggi. Udang yang diekspor ke luar negeri tidak boleh
mengandung zat berbahaya seperti hormon, penyakit manusia, antibiotika,
logam berat, karsinogenik serta senyawa beracun dan akumulatif.
Ditolaknya udang beku Indonesia oleh EU dengan alasan terdeteksinya
residu antibiotika telah terjadi sejak tahun 2000 hingga 2007. Peningkatan
permintaan udang asal Indonesia yang tidak terkena isu anti dumping ternyata
tidak bisa dipenuhi negara ini karena banyaknya kendala kualitas seperti ini
selain penurunan produksi akibat serangan penyakit berjenis jenis virus.
Antibiotika berdasarkan hasil analisis BBPBAP Jepara sejak tahun 2002
terbukti berasal dari kandungan bahan ini dalam pakan komersil yang dipakai
para petambak tanpa mereka sadari. Hingga awal Tahun 2007 penanggung
resiko ditemukannya residu antibiotika adalah pihak cold storage namun sejak
diterapkannya pengwasan yang lebih ketat, residu antibiotika akan mulai bisa
terdeteksi dari pabrik pakan dan petambak pengguna pakan tersebut sehingga
cold storage dapat menolak produk mereka.
Produk udang hasil tambak seringkali dipanen segar dan diekspor dalam
kondisi beku untuk mempertahankan rasa dan warnanya. Petambak Indonesia
masih belum terbiasa pada sistem sanitasi domestik dalam arti mencegah
kontaminasi asal manusia pada media dan udang yang dipelihatra.
Pertambakan harus memiliki WC yang berjarak jauh dari sistim produksi dan
dilengkapi dengan sabun cuci tangan antiseptik. Seluruh WC harus memiliki
septik tank kedap agar bakteri E coli tidak dapat terdeteksi di sungai, air tambak
dan udang yang dipelihara manusia. Bakteri E coli sendiri tidak terlalu
berbahaya pada kesehatan manusia namun adanya E coli menunjukkan adanya
peluang jenis penyakit manusia lain juga hadir. Penyakit menular yang
dikhawatirkan dapat ditemukan di udang beku bersama pencemaran e coli
adalah jenis penyakit diare (Amoeba, virus Eltor) dan penyakit virus hepatitis,
campak dan polio.
Dimasa mendatang kondisi pencemaran mikrobiologis manusia dan udang
akan berkurang dengan meningkatnya permintaan impor udang matang (direbus
15 detik) langsung dibekukan. Namun bila sanitasi lingkungan belum terbiasa
dilakukan, resiko pencemaran dan ditolaknya produk Indonesia akan tetap
terjadi dan berdampak buruk pada produktivitas dan harga jual udang ditingkat
petambak.
V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN BENIH
Keberhasilan dalam kegiatan budidaya tambak tidak terlepas dari kualitas
benih yang ditebar. Tersedianya benih udang tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu, tepat mutu dan tepat harga tidak hanya mampu menghasilkan produksi
maksimal tetapi juga akan menjamin kontinyuitas produksi di tambak. Namun
demikian, benih merupakan masalah utama di Indonesia karena masih sedikit
panti pembenihan (hatchery) yang mau menerapkan sistem yang terkontrol
terhadap kemungkinan adanya kontaminasi atau terjadinya infeksi virus yang
berbahaya (misal : WSSV). Sebagai petambak, benih harus dipilih dengan
cermat bahkan harus melewati beberapa tahapan pengujian.
Mengingat arti pentingnya benur, maka langkah awal pemilihan benur
untuk memperoleh kualitas yang prima akan menentukan keberhasilan kegiatan
budidaya di tambak. Penebaran dengan benur yang berkualitas prima berarti
salah satu langkah penting sudah terlaksana dengan baik. Kualitas benur
terutama dari panti pembenihan sangat bergantung oleh manajemen atau
penanganan pada saat pemeliharaan larva sampai menjadi post larva yang siap
dijual kepada para petani, demikian pula termasuk bagaimana penanganan saat
panen, cara pengangkutan dan lama waktu pengangkutan benur tersebut
sampai ke lokasi tambak. Bagaimana prosedur pemilihan benih yang memenuhi
standar, maka dapat dilihat pada uraian berikut ini.
5.1. Pemilihan benih
5.1.1. Penentuan panti pembenihan udang
a. Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan melaksanakan
uji PCR terhadap induk udang windu yang dipakai dan benih yang
akan dijual.
b. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang
bersifat karier penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting,
rajungan, dan udang mentah, serta bebas antibiotik yang berbahaya.
c. Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.
d. Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian benih yang
dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.
e. Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang windu.
51.2. Pemilihan benih
Benih yang layak tebar telah mencapai ukuran PL12
a. Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai PL8 - PL12.
b. Benih abnormal secara visual kurang 1 % dari populasi.
c. Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :
􀂃 100 ekor PL direndam dalam air tawar.
􀂃 15 menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air semula.
􀂃 amati hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.
􀂃 bila lebih dari 20 % populasi udang mati, pilih benih dari bak lain.
e. Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas selanjutnya diuji
dengan perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehide
(p.a) 200 ppm dengan cara :
􀂃 Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam
ember/toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.
􀂃 Setelah 30 menit, air diputar dan hitung udang yang stress dan
mati.
􀂃 Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.
5.1.3. Persyaratan kualitatif benih yang dapat dilihat dan diuji
a. Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman,
punggung tidak berwarna keputihan atau kemerahan.
b. Gerakan : gerakan berenang aktip, menentang atau menyongsong
arus, cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).
c. Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat
setelah mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap,
maxilla, mandibulla, antenulla dan ekor membuka, hepato pancreas
transparan, usus penuh dan gelap.
d. Responsif terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh
dengan adanya kejutan atau jika wadah sampel benur diketuk, dan
akan berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan
cahaya, serta responsip terhadap pakan yang diberikan (Gambar
11).
5.1.4. Persyaratan kuantitatif
Persyaratan kuantitatif benur udang windu (Penaeus monodon
Fabricius) kelas benih sebar (PL15) seperti pada Tabel 3 berikut :
Gambar 11. Kegiatan pemanenan benih udang.
Tabel 3. Kriteria kuantitatif benur udang windu
No Kriteria Kuantitatif Nilai
1 Umur dari telur (hari) 20 –22
2 Panjang (mm) 10.5 - 11.0
3 Berat (mg) 2.24 - 2.44
4 Kesehatan/bebas penyakit (%) > 70
5 Keseragaman populasi (%) > 80
6 Daya tahan (%) terhadap:
• penurunan salinitas 30 ô€ƒ†0 ppt
• perendaman formalin 200 ppm
> 80
> 90
7 Rangsangan terhadap cahaya dan aerasi Positif
5.1.5. Panen dan pengemasan.
a. Benih yang telah terpilih dipastikan telah mendapat tambahan
artemia 4 jam sebelum panen dilakukan.
b. Benih diberi pakan pada saat air diturunkan.
c. Dasar bak dipastikan telah disifon sebelum benih dipanen.
d. Pemanenan harus dilakukan tidak pada saat benih akan/saat molting
(catat jam molting sebelumnya).
e. Benih ditampung pada wadah yang berisi air dengan salinitas, pH dan
suhu yang sama dengan air di bak, atau melalui pencampuran air steril
baru 1 : 1.
5.2. Transportasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi benih adalah
sebagai berikut (Tabel 4) :
Tabel 4. Perhitungan teknik transportasi PL udang windu yang
direkomendasikan
Jarak
tempuh
Air bak : Air
baru steril
Volume Air :
Oksigen
Kepadatan
(ekor/ liter)
Temperatur
<4 jam Air bak
pemeliharaan
60 : 40 1.500 Alami, sejuk
8 – 12 jam 1 : 1 50 : 50 1.000 22 – 24o C
12 – 20 jam Seluruhnya air
baru
50 : 50 750 – 1.000 22o C
Transportasi benih harus dilakukan dalam kondisi sejuk (sering dipilih
malam hari) atau dalam kendaraan yang berpenutup dan berventilasi baik.
5.3. Penebaran benih.
Benih yang akan ditebar harus memenuhi kriteria kondisi benih dan
kualitas air transportasi telah sesuai dengan air tambak, agar hasilnya lebih
memuaskan.
5.3.1. Kesiapan Tambak.
Tambak yang akan ditebari benih harus siap secara fisik, kimiawi dan
biologis diantaranya :
a. Harus dipastikan air telah netral dari pengaruh krustasida (Dyvon,
Dipterex atau Saprovon) kurang lebih telah mencapai hari ke 6.
b. Bebas atau minim dari residu klorin terlarut (maksimum 0.5 ppm klorin
bebas).
c. Harus memiliki oksigen terlarut minimum 4 ppm, selisih salinitas air di
panti pembenihan dan air di tambak kurang dari 5 permil, tidak terjadi
stratifikasi/perlapisan salinitas dan suhu. Stratifikasi air bisa dicegah
dengan mengoperasikan aerator dalam jumlah optimum.
d. Sedapat mungkin telah memiliki populasi fitoplankton yang cukup
(kecerahan 40 – 50 cm).
e. Untuk menghindari pertumbuhan Dinoflagellata air yang telah
dipersiapkan di ukur rasio N : P. Bila rasio N : P = 15 : 1 (terlalu
tinggi) maka harus dipupuk dengan pupuk fosfat (P2O5 ) agar rasio
kurang dari 10 : 1. pada tingkat P total (eq orthofosfat) minimal 0.1
ppm.
f. Tidak ada ikan penyaing dan pemangsa (misal melalui aplikasi saponin
3 hari sebelum penebaran; dengan dosis 15 ppm).
g. Siapkan salah satu sudut yang diberi penyekat bambu agar wadah
benur mengumpul, atau melalui hapa transisi untuk penebaran.
5.3.2. Persiapan adaptasi benih di tambak.
Pada saat benih sampai ditambak tempat penebaran, beberapa plastik
pembungkus benih harus diambil untuk diperiksa kondisinya :
a. Benih pada saat dibuka dari plastik masih menunjukkan aktivitas yang
normal.
b. Pada transportasi dingin (jarak jauh) benih pada saat baru dibuka
biasanya masih tidak aktif.
c. Pilih plastik-plastik yang bocor dan atau berair keruh karena benih
yang berada di dalamnya hampir selalu lemah dan sebaiknya tidak
usah ditebar (kecuali masih bergerak normal).
d. Adaptasikan suhu, salinitas dan pH air transportasi dengan air tambak
dengan cara mengapungkan plastik (adaptasi suhu) dan
mencampurkan sebagian air tambak ke dalam plastik-plastik sedikit
demi sedikit yang telah dibuka (adaptasi salinitas dan pH air) (Gambar
12).
e. Hindari menjemur plastik tertutup lebih dari 30 menit walaupun
plastik terletak di dalam air karena temperatur dalam plastik akan
meningkat drastis dan membunuh benih yang belum ditebar.
f. Hitung tenaga penebar benih karena dalam 30 menit seseorang hanya
mampu mengadaptasikan 8 - 12 kantung plastik dengan hati-hati.
Gambar 12. Penebaran benih dilakukan dengan menempatkan kantong di pojok
tambak dan ditahan dengan bambu untuk menahan agar tidak
terbawa arus (kiri). Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari
untuk menghindari stress (kanan).
VI. MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR.
Pengelolaan air dan lumpur dasar tambak pada prinsipnya adalah usaha
untuk mempertahankan kualitas lingkungan tambak, meliputi air dan lumpur
dasar pada kisaran nilai parameter yang layak serta menekan terjadinya fluktusi
lingkungan yang tinggi. Dengan demikian kehidupan dan pertumbuhan udang
yang dipelihara dapat tumbuh maksimal dengan energi dan input nutrisi yang
minimal.
Udang yang dipelihara dalam tambak akan melepaskan sisa hasil
metabolismenya ke kolom air, dan sisa pakan yang tidak termakan akan
mencemari tambak. Seluruh bahan organik tersebut akan menimbulkan polusi
yang ditandai dengan terjadinya stress, pertumbuhan yang lambat, kehilangan
nafsu makan, serangan penyakit dan bahkan kematian sebagian atau massal.
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan teknik manajemen air dan lumpur
dasar tambak.
6.1. Pengisian air.
Pengisian air pada tambak udang intensif ramah lingkungan pada masa
pemeliharaan, baik air baru maupun air dalam proses resirkulasi harus melalui
petak biofilter. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora
berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi
virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan
plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau
tumbuhan air yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan
organik.
6.2. Penggantian air.
Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas
air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air menjadi jernih
dan terdapat suspensi dalam air akibat kematian plankton (Tabel 5). Perubahan
ini juga ditandai banyaknya buih relatif besar (lebih dari 2 cm) dan tidak pecah
pada jarak 6 m dari kincir. Sedangkan indikasi kimiawi terlihat dari kandungan
bahan organik yang tinggi (lebih dari 60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm.
Tanda-tanda penurunan kualitas air terlihat dari :
a. Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco > 20 % dari normal).
b. Populasi total bakteri > 10 6 CFU/ ml.
c. Populasi Total Vibrio > 10 3 CFU/ ml.
d. Ekor udang banyak yang berwarna merah (red discoloration).
e. Banyak partikel plankton mati di kolom air.
Proses pergantian air dilakukan dengan cermat sehingga tidak terjadi
perubahan kualitas air secara mendadak atau dratis terutama perubahan
salinitas. Hal ini untuk mengurangi stress pada udang. Perubahan salinitas air
tambak akibat pergantian air tidak boleh melebihi 3 ppt per hari. Untuk
menghindari perubahan salinitas yang drastis pada saat terjadi hujan dengan
cara menghidupkan kincir (untuk pengadukan).
Teknik pergantian air dengan cara membuang air yang banyak
mengandung kotoran atau lumpur organik terutama pada bagian dasar tambak.
Oleh karena itu desain pintu pembuangan dan konstruksi tambak dibuat agar
dapat membuang air bagian dasar atau lumpur dasar maupun air bagian atas.
Pembuangan kotoran atau lumpur dasar dapat juga dilakukan dengan
penyiponan. Penambahan air untuk mengganti air dalam petakan tambak sampai
pada ketinggian air yang ditentukan menggunakan air dari petak biofilter.
Jumlah pemutaran/pergantian air dari tandon ikan ke petak pembesaran
udang dengan kepadatan 30 – 50 ekor/m2, diatur sebagai berikut :
Bulan 1 : 5 - 10%, setiap 15 hari.
Bulan 2 : 5 – 10 % setiap 7 – 10 hari.
Bulan 3 : 10 – 15% setiap 7 hari.
Bulan 4 : 15 - 30 % setiap 3 – 5 hari.
Gambar 13. Air buangan dari hasil budidaya udang intensif
Tabel 5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi
Parameter kualitas air Saat
Penebaran
Air di petak
ikan/
reservoir
Pertengahan dan
akhir
pemeliharaan
Air pembuangan
Suhu (oC) 26 – 29 27 – 32 27 – 32 27 – 32
DO minimum (ppm) 4 > 3.5 4.5 3
BOD (ppm O2) < 0.2 < 10
pH 7.8 - 8.5 7.8 – 8.5 7.8 - 8.4 7 – 9
Alkalinitas (ppm) 90 150 90 - 150 90 – 150 100 - 150
Transparansi (cm) 40 – 50 30 - 50 30 - 40 30 – 40
Suspensi terlarut (ppm) <30 < 20 < 40 < 30
Salinitas (ppt) 10 - 35 10 – 35 10 - 35 10 – 35
Ammonia (ppm) < 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrat (ppm) <0,5 <0,3 <0.4 <0,5
Nitrit (ppm) < 0,1 <0,1 < 0,1 < 0,1
Phosphat (P2O5) (ppm) <0,25 0,30 0,35 0,25
Total Vibrio (CFU/ ml) 102 103 – 10 4 103 – 10 4 < 104
Logam berat
1. Hg (ppm)
2. Pb (ppm)
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
6.3. Mananajemen kualitas air.
6.3.1. Suhu air.
Suhu air tambak tergantung cuaca dan berpengaruh langsung terhadap
nafsu makan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun suhu mencapai 34o C
pada siang hari, udang hidup dan tumbuh normal. Hasil pengamatan laju
komsumsi pakan, pada suhu 26o C nafsu makan turun hingga 50 %.
Suhu dalam air terutama pada bagian dasar tambak juga di pengaruhi
oleh kepadatan partikel yang dapat di ukur tingkat kecerahan dengan sechi disk.
Kepadatan pertikel dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi
cahaya masuk dalam air sehingga suhu air di dasar lebih rendah daripada di
permukaan.
6.3.2. Salinitas.
Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran udang di pertahankan
tidak lebih dari 3 ppt untuk mennghindari stres pada udang. Oleh karena itu
fungsi tandon sebagai persediaan air dapat digunakan untuk menekan
fluktuasi salinitas yang tinggi. Sebelum melakukan pergantian atau penambahan
air, dilakukan pengontrolan salinitas antara petak pembesaran udang dan petak
biofilter sehingga perlakukan pergantian atau penambagan air tidak merubah
salinitas melebihi 3 ppt.
6.3.3. pH air.
Pengukuran pH air terutama pada air bagian dasar dilakukan pada pagi
jam 05.00 (sebelum matahari terbit) dan sore hari sekitar jam 16.00. Nilai pH air
yang optimal adalah 7,8 – 8,2 dengan kisaran fluktuasi pH pagi dan sore adalah
0,2-0,5. Oleh karena itu bila pH turun hingga mendekati 7,0 dilakukan
pengapuran dengan kapur Ca (CO3)2 atau dolomite dosis 3 - 5 ppm. Sebaliknya
bila pH naik mendekati 8,8 segera dilakukan pemberian molase (tetes tebu)
dosis 3 ppm. Cara ini dilakukan tiap 3 hari sekali hingga nilai kisaran pH normal.
Nilai fluktuasi pH yang tinggi, yaitu lebih dari 0,5, menunjukan bahwa karbonat
dalam air sebagai penyangga (buffer) kurang. Karbonat dapat diukur dari
alkalinitas. Biasanya apabila nilai alkalinitas kurang dari 90 ppm, akan
mengakibatkan fluktuasi pH harian tinggi, sehingga perlu penambahan kapur
untuk meningkatkan carbonat. Sebaliknya bila fluktuasi kurang dari 0,2 atau
bahkan sore hari sama dengan pagi hari, menunjukkan fotosintesis tidak berjalan
dengan normal, sehingga perlu aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen
terlarut.
6.3.4. Alkalinitas.
Alkalinitas dipertahankan pada nilai 90 - 150 ppm. Alkalinitas yang rendah
atau kurang 90 ppm harus dilakukan pengapuran sehingga alkalinitas mencapai
angka sesuai dengan kisaran. Jenis kapur yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi pH air sehingga pengaruh pengapuran tidak membuat pH air tinggi. Jenis
kapur disesuaikan dengan keperluan dan fungsinya, segai contoh kapur
hidroksida Ca(OH)2 diaplikasikan untuk menaikan alkalinitas sekaligus menaikan
pH air. Bila pH air sudah tinggi, maka untuk menaikan alkalinitas digunakan jenis
kapur carbonat (CaCO3) atau kaptan (Tabel 6).
Tabel 6. Jenis kapur dan penggunaan
No Jenis kapur Fungsi
1 Kapur gamping (CaO) Menaikan pH dan suhu
2. Kapur Tohor /hidroksida
Ca(OH)2
Menaikan pH
3 Kapur dolomit atau kaptan
(CaMg(CO3)2
Menaikan karbonat dan sedikit pH, dan
sebagai pupuk
4 Kapur karbonat (CaCO)3 Menaikan karbonat dan sedikit pH
6.3.5. Kecerahan.
Nilai kecerahan diukur dengan sechi disk, sebagai tolok ukur kepadatan
partikel termasuk plankton dalam air. Perbedaan kecerahan karena plankton
dengan partikel terlarut adalah dengan mengamati air dalam gelas atau botol
plastik. Kekeruhan akibat partikel atau suspensi terlarut ditandai akan terjadi
pengendapan setelah air didiamkan dalam botol atau gelas. Sedangkan
kekeruhan akibat plankton ditandai air tidak banyak berubah atau tidak terjadi
pengendapan.
Fitoplankton akan tumbuh apabila unsur hara (pupuk) tersedia di air.
Penumbuhan fitoplankton juga bertujuan untuk menghindari pertumbuhan
klekap, lumut dan makro algae lainnya. Pada awal masa pemeliharaan
fitoplankton tidak stabil, karena adanya keterbatasan unsur hara yang
diperlukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemupukan berimbang, fermentasi
bekatul dengan probiotik dan penambahan inokulan fitoplankton.
Kecerahan plankton dipertahankan pada kisaran 30 - 40 cm. Kecerahan
diamati setiap hari sekitar jam 09.00 dan di data sehingga dapat diketahui
kecenderungan kepadatan plankton harian. Bila kecarahan meningkat hingga
lebih dari 40 cm, perlu dilakukan pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan
plankton. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk anorganik, yaitu Urea dan
TSP dengan perbandingan 1:1, dengan dosis 3 - 5 ppm dan pupuk mikro nutrien.
Pemupukan susulan dilakukan setiap 5 - 7 hari hingga plankton stabil. Unsur
pospat (P2O5) sangat menentukan pertumbuhan plankton. Kandungan optimal
pospat minimal 0,25 ppm.
Kepadatan plankton dan partikel terlarut dalam air berpengaruh terhadap
kandungan oksigen terlarut. Pada saat kecerahan rendah akan menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga plankton di bagian bawah tidak dapat
melakukan fotosintesa, sehinga kandungan oksigen di dasar rendah.
6.3.6. Ciri-ciri fitoplankton dan potensinya.
a. Warna hijau gelap (Cincau).
Merupakan indikasi air didominasi jenis algae hijau dari jenis Chlorella spp
kadang-kadang juga ditemukan Platymonas, Carteria dan Chlamidomonas.
Pada tambak dengan salinitas rendah, Scenedesmus dan Euglena lebih
dominan. Warna hijau muda ini merupakan warna favorit karena stabil.
Kecerahan air yang disebabkan oleh fitoplankton dipertahankan pada level 30 –
40 cm. Bila kecerahan lebih dari 40 cm atau kurang dari 30 cm akan
mengakibatkan kualitas lingkungan tidak stabil.
b. Warna hijau biru.
Warna ini merupakan warna yang mencirikan predominansi alage hijau
biru dengan meningkatnya suhu air rata-rata dan kelarutan bahan organik di air.
Kasus-kasus penyakit cangkang lunak, udang biru dan pertumbuhan lambat
mulai sering terjadi pada air berkondisi demikian. Jenis-jenis yang umumnya
ditemukan hingga 90 % populasi adalah dari genus Oscillatoria, Phormidum dan
Microccoleus. Pada air dengan warna ini sering juga dirtemukan Lyngbya,
Chroococcus, Spirulina, Anabaena dan Synochecytis.
c. Warna hijau kuning.
Warna ini ditimbulkan oleh algae flagellata kuning keemasan dari genus
Chlamidomonas, Hymenomonas, Rhodomonas, Chilomonas dan Pavlova serta
bercampur dengan flagellata hijau sepeti Dunaliella dan Carteria. Jenis flagellata
kuning dipicu pertumbuhannya oleh bahan organik anaerobik di tanah sehingga
warna ini dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan bahkan kematian udang.
Pergantian air sangat dianjurkan dan harus diimbangi dengan penambahan
jumlah dan opersioanal kincir air.
d. Warna coklat tua.
Warna air tambak yang coklat tua ini adalah warna yang paling tidak
disukai operator tambak karena mengandung Dinoflagellata (Brown Algae).
Kondisi ini sering ditemui pada tambak yang telah mencapai masa akhir
menjelang panen dengan dasar tambak yang telah banyak mengandung bahan
organik dan kesulitan mengganti air. Air di tandon yang terlalu lama, jernih dan
tidak ada ikannya juga akan didominasi Dinoflagellata. Jenis-jenis plankton yang
tergolong dinoflagellata adalah litochdiscus, Prococentrum, Peridinium, Ceratium,
Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca dan kadang kadang ditemukan Chilomonas,
Euglena dan PLatymonas.
Masalah kesehatan sering timbul dengan air yang berwarna coklat tua ini
diantaranya, insang merah, insang hitam dan insang bengkak. Beberapa jenis
dinoflagellata ini dapat menghasilkan racun casilaxin -PSP- (Paralytic Shellfish
Poisoning) atau racun glenodine yang toksik bagi ikan dan kerang.
Bila Dinoflagellata sulit diatasi maka udang yang dipelihara akan
menderita dengan beberapa ciri-ciri fisik :
1. Tubuh udang berwarna biru gelap.
2. Antena pendek dan melingkar.
3. Tutup insang melipat keluar.
4. Ruas-ruas tubuh cekung kurus.
5. Ekor melipat dan tubuh bergelombang.
e. Warna keruh keputihan.
Merupakan salah satu warna yang berbahaya karena menunjukkan
fitoplankton yang dikonsumsi zooplankton dan air dipenuhi populasi
zoopankton. Jenis-jenis yang sering ditemukan adalah :
1. Cilliata : Febria, Frontonia, Nassula dan Trachelocerca.
2. Rotifera : Lecane, Synchaeta dan Brachionus.
3. Copepoda : Acartia, Tenora dan Centropage.
4. Nauplius teritip (Barnacle).
Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan penggantian air
atau dengan menggunakan Protam (1,5 pentadial 50 EC) dengan dosis 1 ppm.
f. Warna coklat kekuningan.
Merupakan air yang didominasi oleh diatom dari genus Chaetoceros,
Nitzchia, Cyclotella, Synedra, Acanthes, Ampora dan Euglena. Warna ini biasanya
membuat panik pengelola tambak karena tidak dilihat di bawah mikroskop
sehingga cenderung berusaha mengganti air (hal yang tidak perlu). Hanya jenis
diatom Biddulphia yang berpotensi membuat udang stress bila populasinya
terlalu tinggi.
6.3.7. Pembuangan jenis pankton melalui pintu air.
Plankton negatif dan posistif yang ditemukan dalam air tambak dapat
dikendalikan populasinya dengan manajemen pembukaan pintu air (monik),
dengan mengenal karaketristik lapisan air yang disenangi masing masing
plankton seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu
berbeda
Lapisan air di Tambak Pagi pk 08.00 Sore pk 15.00 Malam pk 03.00
1. Permukaan
Cyanophyceae Ciliophora
Phytoflagellata
Annelida
Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
2. Tengah Air
Ciliophora
Phytoflagellata
Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
3. Dasar
Annelida (cacing) Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
Cyanophyceae
Ciliophora
Phytoflagellata
Annelida
Keterangan:
Biota dengan huruf tebal merupakan jenis yang harus diperhatikan kemelimpahannya (tidak
boleh lebih dari 50 % ) melalui pengamatan pada sedwich rafter atau haemocytometer.
6.3.8. Penumbuhan plankton
a. Penumbuhan plankton dilakukan setelah air di petakan bebas dari kandungan
desinfektan. Pada dasarnya, fitoplankton akan tumbuh bila tersedia media,
nutrient dan inokulan. Penumbuhan/kultur plankton di tambak tidak lebih dari
pada menumbuhkan “native” species meski pada sistem budidaya yang
semakin berkembang penambahan inokulan dari luar sistem sudah mulai
dilakukan. Kebanyakan species plankton mudah tumbuh. Atmosfer
mengandung spora dan bagian vegetatif dari bermacam species. Beberapa
jenis burung juga dapat menjadi media penyebaran Fitoplankton. Spora
maupun bagian vegetatif dari fitoplankton dapat bertahan hidup di saluran
pencernaan dan dikeluarkan bersama faeces.
b. Dibanding dengan faktor pembatas lain, nutrient sepertinya mempunyai porsi
terbesar untuk suksesnya penumbuhan plankton. Kebutuhan nutrien untuk
pertumbuhan didapatkan dari sekitarnya, sehingga lingkungan harus
menyediakan sejumlah nutrien yang diperlukan. Kolam dengan input pakan
akan memperoleh tambahan nutrien baik dari sisa pakan maupun hasil
metabolisme dari pakan tersebut oleh ikan, udang atau hewan peliharaan
yang lain. Sementara kolam-kolam yang mengandalkan kelimpahan pakan
alami, nutrient tersedia dari berbagai proses alamiah yang terjadi di
ekosistem tersebut. Secara umum, C (Carbon), N (Nitrogen) serta P
(Phospor) adalah tiga jenis unsur utama yang secara signifikan banyak
berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton. Carbon diperoleh dari
diffusi gas CO2, sementara N dan P diperoleh dari bahan anorganik.
c. Apabila lingkungan tidak dapat menyediakan nutrient sesuai dengan jumlah
yang diperlukan, maka penambahan nutrient dari luar mutlak diperlukan
sehingga pemupukan adalah bagian yang tak terpisahkan pada tahapan –
tahapan penumbuhan plankton.
d. Jenis pupuk anorganik yang umum digunakan adalah Urea (46–0-0),
Ammonium phospat (16–20-0) atau superphospat (16–16-16) yang dapat
diaplikasikan pada masing-masing 5 – 10 ppm dan 2 – 4 ppm. Pupuk
anorganik harus direndam sebelum disebarkan. Jika diberikan dalam bentuk
padatan, dikhawatirkan sejumlah pupuk akan terakumulasi di satu tempat di
dasar kolam dan akan memicu tumbuhnya plankton dasar.
e. Pemberian inokulan untuk mempercepat tumbuhnya plankton dapat
dilakukan dengan menambahkan konsentrat Chlorella, sehingga kepadatan
awal di tambak 20.000 sel/ml. Konsentrat Chlorella didapat dengan
memflokulasikan kultur Chlorella dengan penambahan soda api. Inokulasi
konsentrat Chlorella dapat dilakukan satu hari setelah pemupukan dengan
cara menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian petakan.
f. Proses tumbuhnya plankton memerlukan waktu beberapa hari sampai
dicapainya kondisi yang stabil. Idealnya dalam beberapa hari tersebut warna
air akan berubah menjadi lebih hijau atau coklat dengan kecerahan sekitar 40
– 50 cm. Pada perairan-perairan yang sangat miskin atau plankton yang ada
telah mati akibat chlorinasi, plankton mungkin tidak akan tumbuh dalam
beberapa hari. Atau juga bukan tidak mungkin plankton yang telah tumbuh
akan mati dengan tiba-tiba sehingga air akan kembali menjadi jernih. Pada
kasus seperti ini disarankan untuk menambahkan sejumlah “green water”
dari kolam lain. Harus dipastikan bahwa kolam donor berada pada kondisi
sehat
g. Apabila plankton tidak tumbuh dalam beberapa hari setelah pemupukan,
tidak disarankan untuk melakukan pemupukan ulang. Pemupukan ulang
pada kondisi air jernih malah akan memacu tumbuhnya klekap (benthic
algae). Penambahan dosis pupuk dapat dilakukan pada tambak-tambak
dengan type substrat dasar kandungan nutrien lebih rendah, misalnya pada
tanah yang banyak mengandung pasir. Penambahan pupuk yang disarankan
adalah 5 – 10 % dari dosis normal.
6.3.9. Manajemen fitoplankton.
a. Keberadaan fitoplankton tambak pada dasarnya sangat diperlukan.
Fitoplankton adalah bagian dari komunitas mikroba yang berperan dalam
mengatur kondisi kultur yang diinginkan. Selain dapat memanfaatkan sisa
nutrient, keberadaan fitoplankton juga mengurangi intensitas cahaya,
memproduksi oksigen, menstabilkan temperatur serta memberikan kontribusi
akan kebutuhan nutrient bagi organisme yang dipelihara. Pada tipe budidaya
yang semakin beragam, model pengelolaan fitoplankton harus disiasati
sehingga didapatkan kondisi ambient pada kepadatan tertentu yang
merupakan ukuran ideal. Perlu disadari juga bahwa kebanyakan problem
kualitas air adalah resultan dari beberapa faktor yang pada awalnya
merupakan efek dari keberadaan fitoplankton yang tidak terkelola dengan
baik.
b. Fitoplankton akan berada pada kondisi yang diinginkan bilamana dikelola dan
dicermati berbagai fluktuasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pertumbuhannya. Secara umum, plankton yang berwarna hijau atau hijau
kuning akan lebih mudah dipertahankan dari pada yang berwarna coklat.
Pada kolam–kolam dengan tingkat salinitas sangat rendah, jenis alga hijau
biru kemungkinan akan muncul. Jenis ini tidak begitu memberikan kontribusi
pada kandungan oksigen terlarut dan bahkan cenderung membahayakan
ikan/udang yang dipelihara.
c. Problem umum yang sering muncul pada awal-awal masa produksi adalah
kematian plankton akibat kekurangan nutrien atau CO2. Kondisi ini dapat
terjadi dengan tiba-tiba dan menyisakan sedikit plankton yang masih hidup.
Plankton yang mati akan menyebabkan munculnya busa dalam jumlah besar
di permukaan dan juga deposit material di dasar. Pada akhir masa
pemeliharaan, problem biasanya terkait dengan kepadatan yang berlebih.
Jika plankton terlalu padat dan air tidak diaerasi secara terus menerus
sebagian plankton akan mati karena tidak mendapatkan cahaya yang cukup.
Kematian juga sering terjadi karena perubahan kualitas air yang dramatis
seperti adanya hujan yang sangat lebat.
d. Untuk menjaga kondisi plankton yang stabil, perlu untuk menambahkan
sejumlah nutrien, CO2 dan cahaya. Nutrien dapat ditambahkan dalam bentuk
pupuk anorganik dengan dosis 3 – 5 ppm. CO2 dipasok dari atmosfir,
respirasi hewan piaraan, respirasi fitoplankton dan bakteri, alkalinitas serta
pengapuran. Penetrasi cahaya matahari dapat ditingkatkan dengan memutar
air dengan kincir atau mengurangi densitas dengan penggantian air.
e. Penggantian air adalah cara paling mudah untuk menurunkan kepadatan
plankton pada kolam-kolam yang dikelola dengan sistem tertutup. Pada
kolam yang menggunakan sistem tertutup, penggunaan bahan kimia lebih
sering dilakukan untuk mengontrol kepadatan. Harus diwaspadai jenis, dosis
serta efek dari bahan kimia tersebut apabila diaplikasikan. Pada umumnya
jenis yang digunakan adalah BKC (Benzal Konium Chloride) pada dosis 0.1 –
0.5 ppm serta formalin pada dosis 10 – 20 ppm.
6.3.10. Oksigen terlarut.
Kandungan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air utama pada
pembesaran udang di tambak. Kebiasaan udang windu adalah mempunyai
aktivitas pada dasar perairan. Oksigen terlarut terutama pada air dasar tambak
tidak kurang dari 4 ppm.
Fluktuasi kandungan oksigen terlarut sangat ditentukan kepadatan biota
yang ada dalam air terutama fitoplankton dan tanaman air lainnya yang
merupakan produsen primer. Untuk menjaga oksigen terlarut tetap pada kondisi
yang optimal adalah dengan memanfaatan proses fotosintesa, penggunaan
aerasi.
a. Pengaturan kincir air.
Kincir air diperlukan untuk :
• Suplai O2 di air
• Mengoksidasi permukaan dasar
• Membuat kotoran tersuspensi dan teroksidasi di kolom air
• Mengatur arus air dan menentukan penumpukan lumpur organik
• Menghilangkan pelapisan air oleh suhu dan salinitas dan menghomogenkan
kelarutan oksigen
b. Kebutuhan kincir dari biomassa udang.
Kincir air dipasang sesuai dengan kebutuhan minimal pada bulan pertama
pemeliharaan. Pada bulan kedua pemeliharaan, total kincir harus sudah
terpasang sesuai dengan target produksi berdasarkan data SR terakhir. Sebuah
tambak tidak memerlukan kincir hingga produksi biomassa udang mencapai 500
kg/Ha dengan pertumbuhan normal. Kincir dapat tidak dipasang pada biomassa
700 kg/ha dengan pertumbuhan lambat.
Untuk pertumbuhan tetap normal, kincir dipasang setelah biomassa > 500
kg/ha dengan perhitungan bahwa 1 kincir 1.5 HP dapat menunjang kehidupan
250 kg – 300 kg udang bila dasar tambak sudah tua atau tidak dapat
dibersihkan. Satu kincir dapat menunjang kehidupan hingga 400 kg bila dasar
dapat dibersihkan.
c. Kebutuhan kincir dari kejenuhan oksigen di air.
Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, kincir di tambak dihidupkan
hanya ½ jumlah total pada bulan ke tiga hingga ke empat apabila tingkat
kejenuhan diatas 100 % jenuh. Kincir harus seluruhnya dihidupkan apabila
tingkat kejenuhan hanya mencapai 50 %.
Tingkat kejenuhan dihitung dengan mencocokkan kelarutan oksigen
terukur (DO), salinitas, temperatur dengan tabel kejenuhan. Angka yang terukur
dibagi angka seharusnya di Tabel dan dikalikan 100 % = tingkat kejenuhan di
air pada saat itu (%).
Arah kincir air harus dipasang sesuai dengan :
• Arah pengendapan antar masing masing kincir berjarak 12 - 15 m dan
• Arah pembuangan lumpur (pintu air) harus lebih besar dari 15 m
Kriteria pemasangan kincir yang benar
• Tidak ada pengendapan lumpur halus di dasar tambak lebih dari 10 cm
• Redox potensial tanah tidak mencapai – 250 mV
• 70 % wilayah tambak di dasar, memiliki DO minimum lebih dari 4 ppm
Keterangan : Posisi Pemasangan kincir dapat dilihat pada Bab Persiapan Tambak.
d. Penggunaan blower sebagai pemasok oksigen terlarut.
Dewasa ini telah tersedia berbagai jenis blower yang dapat dipergunakan
sebagai pemasok oksigen di tambak dengan hasil kelarutan oksigen yang lebih
efisien per satuan tenaga yang diperlukan sebagai penggerak mesin. Blower
untuk keperluan aerasi ditambak tersedia dalam tiga bentuk umum :
• Rotary Blower/Rootblower, merupakan blower dengan tenaga yang kuat
untuk tambak/ bak dengan kedalaman > 1 m dan untuk memompa untuk
jarak yang jauh serta titik yang banyak. Pada umumnya jenis ini dipakai di
pembenihan atau di unit pengolahan air minum namun sangat baik untuk
dipergunakan di tambak
• Vortex Blower, alat ini berprinsip putaran cepat akan menghasilkan volume
angin yang banyak, hanya kelemahannnya adalah suaranya yang bising dan
tekanan yang rendah < 60 cm dalam serta jarak tiup udaranya yang terbatas
• TurboJet, merupakan blower khusus tambak yang dapat digerakkan oleh
motor listrik maupun langsung dari penggerak diesel (dengan resiko
menghisap asap)
Pemasangan blower di tambak bisanya melalui pipa utama 2 inch dengan
cabang sekunder 1 inch dan pipa terakhir berukuran ¾ inch. Lubang aerasi
masing masing berjarak 3 m dan antar pipa terakhir berjarak 5 m. Lubang
aerasi adalah pipa yang dibor dengan mata bor berukuran terkecil dan
menghadap ke dasar tambak. Efektivitas blower akan slebih efektif bila di
kimbinasikan dengan kincir air untuk mengatur sedimentasi agar terkumpul di
titik tengah. Di Thailand blower dipasang di belakang kincir berangkai sehingga
udara yang dihasilkan didorong oleh kincir (Gambar 14).
Gambar 14. Pengaturan Blower
6.3.11. Bahan organik
Kondisi kualitas air tambak dapat diukur dengan parameter kandungan
total bahan organik (TOM) atau jumlah N-organik dalam air. Peningkatan
kandungan N-organik dalam disebabkan sisa pakan yang tidak dikomsumsi,
kotoran udang, kematian plankton atau tanaman air lainnya, dan bahan organik
yang masuk pada saat pergantian air. Kandungan bahan organik yang tinggi
lebih dari 60 ppm menunjukkan kualitas air yang menurun. Proses perombakan
bahan organik tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Kandungan total
bahan organik merupakan sumber terjadinya senyawa yang dapat meracuni
udang dalam proses anaerob atau reaksi reduksi.
Pengukuran bahan organik dilakukan setiap minggu baik pada petak
pembesaran udang maupun petak tandon. Bila kandungan air tambak mencapai
50 ppm maka perlu dilakukan penurunan yaitu dengan cara pergantian atau
penambahan air dari petak tandon. Cara ini dapat dilakukan kalau petak tandon
kandungan bahan organiknya lebih rendah.
Cara lain adalah dengan penebaran probiotik jenis Bacillus sp dan
Rodobacter sp secara rutin tiap 3 hari sekali dengan dosis 1 - 2 ppm untuk
mempercepat proses penguraian bahan organik. Perlakukan lain untuk
mencegah terjadinya proses tersebut dengan membuat kondisi aerob dengan
mempertahankan oksigen terlarut tetap tinggi yaitu lebih dari 4 ppm.
Penguraian bahan organik akan berlangsung dengan baik apabila
komposisi C/N rasio dalam bahan organik tersebut lebih dari 10. Oleh karena
perlu dilakukan penambahan sumber karbon (C-organik). Sumber C-organik yang
digunakan adalah bahan-bahan karbohidrat seperti tepung tapioka, terigu dll.
Aplikasi bahan-bahan karbohidrat diberikan 1 - 2 kali per minggu. Dosis
pemberian adalah 10% dari jumlah total protein (crude protein) dari pakan
komersial yang telah diberikan. Sebagai dampak dari perlakukan ini adalah
terjadinya penurunan bahan organik dan pertumbuhan plankton yang ditandai
warna hijau.
6.3.12. Lumpur dasar tambak
Nilai redok potensial lumpur dasar tambak menunjukkan kondisi tanah
yang dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan fenomena reaksi kimia
dan biologi dalam tambak. Dengan nilai redoks potensial yang negatif
menunjukkan terjadinya reaksi reduksi, yang dapat menghasilkan senyawa yang
bersifat racun terhadap udang seperti senyawa sulfida (H2S), Nitrit dan amonia.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan pengamatan lumpur dasar
selama pemeliharaan untuk menentukan perlakuan.
Kondisi lumpur dasar tambak selama pemeliharaan juga sangat ditentukan
oleh manajemen pakan tambahan. Pengelolaan pakan harus dilakukan dengan
baik. Hal ini mengingat biaya operasional untuk pakan dalam budidaya udang
sangat besar. Dampak penggunaan pakan yang tidak terkontrol juga akan
menyebabkan permasalahan memburuknya lingkungan tambak dan pada
akhirnya dapat menyebabkan munculnya penyakit dan kematian.
Pengukuran redok tanah dasar tambak dilakukan setiap 2 minggu sekali.
Apabila nilai redoks sudah mencapai -100 mV menunjukan adanya reaksi reduksi
yang diduga akan menghasilkan senyawa beracun nitrit dan sulfida pada pH
asam dan Amonia pada pH basa. Tindakan yang dapat dilakukan bila redok
potensial telah mencapai kurang -100 mV adalah dengan meningkatkan
kandungan oksigen terlarut pada dasar tambak. Peningkatan oksigen terlarut
dapat dilakukan dengan aerasi atau dengan pompa Cara lain adalah dengan
pengaturan pH air pada kisaran 7,8 - 8,5. Aplikasi bakteri pengurai secara rutin
dapat mempercepat penguraian bahan organik pada lumpur dasar.
6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan dan panen
Air yang keluar dari petak pemeliharaan sedapat mungkin melalui central
drain atau pipa tengah agar lumpur organik dasar tambak sebagian besar dapat
terbuang. Air yang mengandung sedimen akan dialirkan dalam saluran
pembuangan yang memiliki lebar dan panjang tertentu yang dapat membuat
arus hanya berkecepatan 3 meter/menit sehingga suspensi sempat mengendap.
Untuk menghemat lahan pengendapan dapat dilakukan dengan membuat sekat
sekat 0.5 m di bawah air atau sekat zig-zag di saluran. Air dapat dialirkan
langsung ke dalam petak ikan setelah diberi aerasi 1 kincir atau blower 40 watt.
Air yang boleh dibuang dari petak pemeliharaan harus dikeluarkan melalui
pintu monik lapisan atas, namun bila hendak diendapkan terlebih dahulu, air
dapat dikeluarkan dari manapun. Kualitas air buangan yang memenuhi kriteria
Internasional dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen
Parameter Unit Batas Maksimum Batas Yad
pH
TSS
Total P
Total Ammonia
BOD 5 hari
DO pagi hari
-
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
6.0 - 9.5
< 100
< 0.5
< 5
< 50
> 4
6.0 – 9.0
< 50
< 0.3
< 3
< 30
> 5
6.5. Aplikasi probiotika
Probiotik pada umumnya didefinisikan sebagai bakteri tambahan
(inokulan) yang dipakai untuk melaksanakan suatu proses enzimatismikrobiologis
tertentu. Kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa organisme
yang melaksanakan tugas-tugas perubahan biologis juga dapat didefinisikan
sebagai biomanipulator. Beberapa organisme yang dapat dikatakan sebagai
biomanipulator adalah ikan herbivora (beronang/Siganus spp), ikan omnivora
(ikan mujair dan ikan bandeng), ikan plankton feeder (ikan nila dan ikan
belanak) dan ikan-ikan pemakan zooplankton dan udang kecil seperti wering/
seriding dan ikan keting.
6.5.1. Jenis probiotik
Berdasarkan jenis atau fungsinya probiotika juga dapat dikelompokkan ke
dalam :
a. Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
b. Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
c. Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam
tubuh udang
Probiotika secara ekonomis diperhitungkan sebagai input yang mahal,
kesalahan persiapan dan penaganan hanya akan menambah biaya tanpa hasil
apapun. Pemberian sebaiknya dilakukan setelah organisme probiotika
ditumbuhkan dengan maskimum sebelum dimasukkan ke air/dasar tambak.
6.5.2. Prosedur penumbuhan probiotika
a. Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
Diperlukan untuk menumbuhkan fitoplankton secara cepat dan stabil
miminum hingga 7 hari, komposisi pupuk dan probiotika yang diberikan adalah
sbb :
• Dedak sebagai sumber karbohidrat, selulosa dan silikat
• Gula/tetes tebu sebagai sumber CO2
• Protein tepung ikan/Urea/Pakan BS sebagai sumber nitrogen dan
karbon (C) sebagai penyusun protein sel probiotika
• Bakteri biakan (Baccillus atau Nitrobacter atau Nitrosomonas)
• Aerasi/ pengadukan agar proses berlangsung secara aerobik
b. Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
• Bakteri fotosintetik bakteri Chtinioclastic, Lipolitic, Cellullolityc,
proteolitic bacteria.
• Molase sebagai sumber Karbon
• Tepung ikan sebagai sumber protein
• Zeolite sebagai pemberat dan pori-pori penyerap bakteri
• Pengadukan tanpa aerasi karena bakteri aerobik fakultatif
c. Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang
• Bakteri Lactobaccillus
• Gula dan air sebagai medium pertumbuhan
• Tepung ikan sebagai sumber protein
• Kanji sebagai medium pengikat untuk dilapisi di pakan (pelet)
VII. MANAJEMEN KESEHATAN UDANG
Udang yang sehat dicirikan oleh fungsi fisiologis yang normal, dan secara
fisik dapat terlihat dari pola nafsu makan, pertumbuhan, kebersihan dan
kelengkapan organ dan jaringan tubuh. Udang akan tetap dalam kondisi sehat
selama lingkungan masih mampu memberikan kondisi yang optimal dan mampu
mentolerir beban polusi internal sebagai hasil degradasi input produksi (kotoran
udang, alga yang mati dan sisa pakan).
Penyakit pada umumnya mulai terjadi pada bulan kedua pemeliharaan,
terutama pada tambak yang sejak awal mengalami kesulitan menumbuhkan
fitoplankton, sehingga klekap tumbuh yang kemudian mengalami kematian.
Kemampuan mengendalikan faktor penyebab stress dan antisipasi yang tepat
terhadap potensi serta gejala sakit akan menentukan kualitas dan kuantitas
udang pada akhir masa pemeliharaan hingga panen. Hampir semua kunci
manajemen kesehatan adalah pencegahan, namun tidak menutup kemunginan
dilakukannya pengobatan asal tidak menggunakan jenis obat yang termasuk
kategori terlarang untuk produk perikanan, seperti kloramfenikol dan nitrofuran.
7.1. Penyakit udang
Jenis penyakit yang menyerang udang windu adalah penyakit viral,
bakterial, parasiter dan faktor abiotika lainnya. Akibat serangan patogen pada
udang dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi karena terjadi kematian
atau karena penampilan udang yang kurang menarik, seperti berlumut, geripis
dan lain lain.
Diantara jenis penyakit yang paling banyak membawa kerugian karena
terjadinya kematian adalah akibat penyakit bercak putih viral (WSSV). Penyakit
jenis ini paling banyak ditemukan dan mengakibatkan kematian masal pada
budidaya udang windu, baik teknologi intensif, semiintensif dan sederhana.
Penyakit bakterial, meskipun juga ditemukan tetapi tidak banyak mengakibatkan
kerugian ekonomis, demikian juga penyakit yang disebabkan oleh parasit.
7.1.1. Penyakit viral
a. Penyakit bercak putih viral (White Spots Syndrome Virus, WSSV)
Penyakit yang paling sering ditemukan terkait dengan kematian adalah
penyakit bercak putih viral. Udang yang terserang penyakit ini menunjukkan
tanda adanya bercak putih di seluruh tubuhnya, dari karapas hingga pangkal
ekor. Penyebab penyakit bercak putih viral adalah White Spots Syndrome Virus
(WSSV), yang termasuk keluarga Nimaviridae (Gambar 15 dan 16).
Gambar 15. Virus penyebab penyakit bercak putih, kiri morfologis virus
pemotretan dengan scanning mikroskopi, kanan komponen virus
Gambar 16. Udang yang terserang bercak putih viral, terlihat bercak keputihan
pada seluruh tubuh, dan karapas udang (kiri), gambar mikroskopi
bercak (kanan)
Udang yang terserang virus bercak putih biasanya terlihat lemah,
berenang ke tepi dan mati. Kematian masal umumnya terjadi dalam jangka
waktu 3 hari sejak gejala pertama ditemukan. Apabila selain bercak putih udang
juga berlumut (Gambar 17), maka udang harus segera dipanen sebelum terjadi
kematian lebih banyak. Apabila udang terserang masih kelihatan bersih, insang
juga bersih maka perlakuan perbaikan kualitas lingkungan, pemberian vitamin C
dan pemberian ikan rucah untuk merangsang nafsu makan, masih dapat
membantu untuk penyembuhan.
Gambar 17. Selain bercak putih, udang juga berlumut. Tingkat serangan akut.
b. Infeksi Monodon Baculo Virus (MBV)
Jenis virus MBV merupakan jenis virus yang umum ditemukan dalam
budidaya udang pada sekitar tahun 1990, dan dikenal sebagai penyebab
penyakit kematian udang umur 1 bulan (one month dead syndrome). Akibat
serangan virus, banyak tambak yang gagal panen dan mengalami kematian
prematur (Tabel 9)
Tabel 9. Jenis-jenis virus yang menginfeksi udang Penaeid
No. Virus Ukuran
(nm)
Asam
nukleat
Kelas Mortalitas
1 BMN (Baculovirus mid
gland necrose)
~75x300 DsDNA Baculovirus,
nonoccluded
90%
2 BP (Baculovirus penaeid) 55-75x~300 dsDNA Baculovirus,
occluded
100%
3 HPV (Hepatopancreatic
parvo-like virus)
22-24 ssDNA Parvovirus 50%
4 IHHNV (Infectious
hematopoietic and
hypodermal necrotic
virus
22 ssDNA Parvo virus 80-90%
5 MBV (monodon
baculovirus)
~75x300 dsDNA Baculovirus,
occluded
85%
6 WSBV (white spot
baculovirus)
~80x270 dsDNA Baculovirus,
nonoccluded
100%
7 TSV (taura syndrome
virus)
30-32 ssRNA Picornavirus 80-95%
8 YHV (yellow head virus) 44x173 ssRNA ? 100%
Tabel 10. Inang yang terinfeksi virus DNA secara alami maupun eksperimental
No. Spesies Jenis virus DNA
terinfeksi BMN BP HPV IHHNV MBV WSSV
1 Penaeus monodon ++ ++ ++ ++ +++ +++
2 P. semisulcatus + ++ +
3 P. merguiensis (+) ++ ++ +++
4 P. indicus + + +++
5 Litopenaeus stylirostris ++ + +++ (+++)
6 L. vannamei +++ ++ ++ +? (+++)
Keterangan:
+++ : tingkatan infeksi berat
++ : Tingkatan infeksi sedang
+ : tingkatan infeksi ringan
( ) : infeksi secara eksperimental, dengan tingkatan serius ditunjukkan dengan tanda
Tabel 11. Inang yang terinfeksi virus RNA secara alami maupun eksperimental
No. Spesies Virus RNA
terinfeksi TSV YHV
1 P. monodon +++
2 P. semisulcatus
3 P. merguiensis +/R
4 P. indicus
5 L. stylirostris +/R (+++)
6 L. vannamei +++ (+++)
Keterangan:
+++ : tingkatan infeksi berat
++ : Tingkatan infeksi sedang
+ : tingkatan infeksi ringan
( ) : infeksi secara eksperimental, dengan tingkatan serius ditunjukkan dengan tanda
R : resistan pada uji tantang secara eksperimental (R) dan/atau kegiatan budidaya
Agensia penyebab :
Monodon Baculo Virus (MBV) merupakan virus keluarga baculovirus ,
yaitu virus bentuk batang berbahan genetik DNA untai ganda (dsDNA, double
strand deoxyribonucleic acid). Virus ini dalam inti sel inang yang terinfeksi
membentuk occlusion body. Koloni virion dengan matriks berupa protein sebagai
perekat membentuk kristal seperti bola dalam inti sel hepatopankreas udang
yang terinfeksi (Gambar 15 dan 16). Kristal virus seperti ini disebut sebagai
occlusion body. Inti sel yang terinfeksi virus umumnya membesar
(hypertrophied), berisi beberapa kristal virus yang berbentuk bulat. Jaringan
yang terinfeksi virus selanjutnya akan segera mengalami kerusakan.
c. Infectious hematopoietic and hypodermal necrotic virus (IHHNV)
Jenis virus lain yang menginfeksi udang dan mengakibatkan kerugian
adalah IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus). Udang
yang terinfeksi virus ini tumbuh kerdil (Gambar 18). Dalam satu tambak dengan
ukuran udang kerdil dengan porsi lebih dari 30% kemungkinan disebabkan oleh
IHHNV. Multiinfeksi virus juga dapat terjadi pada satu tubuh udang, misalnya
kombinasi dengan WSSV dan MBV (Monodon Baculo Virus).
Gambar 18. Penyakit udang kerdil, karena infeksi IHHNV.
Virus IHHNV merupakan virus dengan bahan asam nukleat untai tunggal
(ssDNA) dari kelas parvovirus, yang dicirikan dengan adanya benda inklusi,
inclussion body yaitu merupakan koloni virus dengan tanpa adanya matrik. Inti
sel yang terinfeksi virus biasanya membesar dibandingkan dengan normal.
Diagnosis dilakukan dengan prosedur histopatologis, jaringan
hepatopankreas menggunakan larutan fiksatif Davidson. Diagnosis positif dengan
ditemukannya benda inklusi (koloni virus tanpa matriks) dalam inti sel yang
terinfeksi (Gambar 19 dan 20).
Gambar 19. Infeksi monodon baculovirus pada hepatopankreas, terlihat
occlusion bodies (tanda panah) pada hepatosit yang terinfeksi
(kiri), sedangkan gambar kanan adalah infeksi hepatopancreatic
parvo-like virus, terlihat inclussion bodies pada inti sel hepatosit
(tanda kepala panah).
Gambar 20. Hasil elektroforesis dari produk PCR akan dihasilkan band yang
menandakan adanya infeksi virus.
Serangan penyakit dapat mengakibatkan kematian masal hingga
mencapai 100% dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya 2 hari sejak
gejala pertama tampak. Udang yang terserang biasanya berenang ke tepi dekat
pematang, lemah, kehilangan nafsu makan dan akhirnya mati.
Agensia penyebab :
Penyebab penyakit adalah WSSV (white spot syndrome virus) termasuk
virus berbahan genetik DNA, non-occluded virus, dan virion berbentuk batang.
Penularan penyakit yang sangat cepat, menyebabkan sulitnya penanggulangan
penyakit. Organisme penular (karier) dapat berupa rebon (mysid shrimp), udang
putih, kepiting, wideng, udang windu sendiri yang menularkan penyakit secara
horizontal. Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui induk menular ke
larva.
Diagnosis :
Diagnosis penyakit yang paling mudah adalah apabila telah terjadi infeksi
akut, terlihat dengan timbulnya bercak putih pada bagian cephalothorax. Pada
infeksi dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer spesifik untuk WSSV.
Pengendalian penyakit :
Pengendalian penyakit dilakukan dengan teknik budidaya sistem tertutup,
yang pada prinsipnya sistem budidaya bebas virus. Sistem ini meliputi
penggunaan benih bebas virus dan lingkungan bebas virus.
Sistem seleksi benih untuk mendapatkan benih bebas virus dapat
dilakukan dengan teknik PCR (polymerase chain reaction). Benih yang terinfeksi
virus harus tidak ditebar karena potensi terjadi kegagalan panen dan sebagai
karier virus.
Penyediaan media (air media calon pemeliharaan udang) juga harus
bebas virus, yang dilakukan dengan cara melakukan pemberian kaporit (kadar
60%) pada kadar 30-40 ppm. Tujuan pemberian kaporit adalah membunuh
inang (karier) virus dan mematikan virion. Setelah perlakukan kaporit dilanjutkan
dengan menghidupkan aerator selama 3 hari untuk menetralkan air. Pemberian
inokulan fitoplankton baik berupa diatoms (misalnya Skeletonema costatum)
atau Chlorella perlu dilakukan karena fitoplankton biasanya mati pada saat
pemberian kaporit.
Cara mengendalikan penyakit adalah dengan pencegahan, melalui
penebaran benih dengan benih bebas virus. Selain itu apabila ada udang yang
pertumbuhannya abnormal dapat dieliminasi (diambil dan dikeluarkan) dari
tambak untuk mencegah penularan ke udang lain.
7.1.2. Penyakit bakterial
Kasus penyakit bakterial di tambak yang paling sering dijumpai adalah
terkait dengan udang geripis, insang hitam dan nekrosis otot. Gejala penyakit
bakterial adalah timbulnya daerah luka yang dikelilingi dengan pigmentasi
kehitaman (Gambar 21). Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan terkait
dengan penyakit bakterial adalah Vibrio sp. Jenis bakteri selain vibrio adalah
Bacillus sp. Bakteri ini memiliki kemampuan mendegradasi kitin (chitinoclastic
bacteria).
Gambar 21. Penyakit nekrosis bakterial, insang kelihatan membusuk dan
kehitaman (kanan) dibandingkan dengan udang sehat (kiri)
7.1.3. Penyakit parasiter
Penyakit parasiter yang ditemukan pada budidaya udang windu secara
umum termasuk kategoris penyakit kulit kotor (fouling disease). Penyebab
penyakit antara lain karena penempelan protozoa dan beberapa jenis alga
benang. Jenis protozoa paling dominan adalah Zoothamnium sp. dan Vorticella
sp.
Gambar 22. Penyakit udang kotor (fouling disease), karena penempelan
protozoa (kiri) dan alga benang (kanan)
7.2. Monitoring kesehatan udang
7.2.1. Pengamatan rutin
Pengamatan secara rutin dilakukan dengan cara melihat kondisi udang di
petakan tambak, seperti pola berenang, ada tidaknya udang berenang ke tepi
ada tidaknya bercak, dan perubahan nafsu makan. Pengamatan lebih teliti
dilakukan di anco setiap saat pemberian pakan untuk melihat populasi dan
abnormalitas udang.
Desain anco untuk monitoring dibuat dengan syarat : lentur, pinggir kurang
lebih 10 – 15 cm, luas 80 x 80 cm (terhitung 100 x 100 cm2).
7.2.2. Pengamatan visual udang sehat
a. Gerakan aktif, berenang normal dan melompat bila anco diangkat
b. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan dan sentuhan
c. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas
d. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel
e. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap.
f. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung)
g. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya putih,
tidak kusam.
h. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup
i. Insang jernih dan bersih
j. Kondisi isi usus penuh dibawah sinar, dan tidak terputus-putus
7.2.3. Pencegahan penyakit
a. Keringkan tambak hingga tanah retak-retak, kupas lapisan dasar bagian
lumpur organik atau dilakukan pembalikan untuk tekstur dasar dominan pasir
hingga kedalaman 30 cm.
b. Air media dipersiapkan dengan cara didesinfeksi terlebih dahulu dengan
kaporit 30 ppm, kemudian dinetralkan dengan menghidupkan kincir selama 3
hari.
c. Sebelum penebaran benih, pastikan bahwa air telah netral, dan fitoplankton
harus sudah menunjukkan tanda pertumbuhan (dasar tambak tidak terlihat)
untuk menghindari pertumbuhan klekap.
d. Apabila klekap tumbuh dapat dikendalikan dengan memasukkan ikan
bandeng ke petakan tambak. Kepadatan bandeng disesuaikan dengan ukuran
tambak, kelebatan klekap/lumut dan ukuran bandeng. Umumnya padat tebar
bandeng sekitar 50 - 100 ekor per hektar dengan ukuran glondongan (5 - 7
cm).
e. Gunakan benih yang telah dipilah ukurannya dan telah di PCR dengan hasil
negative untuk virus WSSV dan IHHNV.
f. Tambak yang terserang penyakit harus segera diobati, kincir air yang
berputar cepat akan mampu menerbangkan partikel air hingga 6 m ke udara
dan tertiup angin keluar tambak.
g. Peralatan yang terkena penyakit dapat dicuci dengan kaporit sebanyak 100
ppm.
h. Tambak yang udangnya mati terkena virus tidak boleh dibuang langsung ke
laut atau ke dalam sistem resirkulasi, tetapi dengan terlebih dahulu
mengaplikasikan kaporit 40 ppm (bila air keruh) atau 30 ppm (bila air telah
mengendap).
Tabel 12. Standar kesiapan tambak pada penebaran benih udang
No. Parameter Kondisi Cek
1 Persiapan tambak Pengupasan,
pembalikan
V
2 Desinfeksi air media Kaporit 30 ppm V
Pertumbuhan fitoPlankton Air berwarna
kehijauan,
kecerahan 50 – 60
cm
V
4 Pertumbuhan klekap dasar dan
ganggeng
Tidak ada V
5 Benih Ukuran > 12 mm,
seragam, fisik
baik, lolos uji PCR
terhadap WSSV
dan IHHNV
V
Tabel 13. Jenis penyakit umum dan teknik pengobatannya
Jenis penyakit Gejala/ ciri-ciri Pengobatan Pengendalian
MBV (Monodon
Baculo Virus)
Udang tidak seragam,
Pertumbuhan lambat
Vitamin C 1 g/kg pakan
selama 3 bulan (vitamin C
coated, seperti Ascorbic acid
mono/poli phosphat)
Membuang udang yang
berukuran ekstrim kecil
setelah 20 hari
pemeliharaan di
pentokolan
IHHNV
(Infectious
Hypodermal and
Hemataopoietic
Necrosis Virus)
Ukuran udang tidak
seragam ekstrim, porsi
udang kecil lebih dari 30%
dari populasi
Vitamin C 3 g/kg pakan
(vitamin C coated)
Pemilihan benih bebas
virus dengan PCR
WSSV (White
Spots Syndrome
Virus)
Udang berenang ke tepi
pematang. Berenang
abnormal. Terdapat
bercak di bagian karapas
atau sudah menyebar
seluruh tubuh. Secara
mikroskopis terlihat
bercak putih dengan
bentuk bunga dan inti
kehitaman.
Vitamin C 1-3 g/kg pakan
selama 3 hari
Peptidoglycan 0.2 mg/kg
udang/ hari selama 2–3
bulan
Fucoidan (ekstrak rumput
laut) 60–100 mg/ kg udang/
hari selama 15 hari
Memilih benih bebas
virus dengan PCR.
Aplikasi air steril
Aplikasikan pagar
keliling
Vibriosis Bercak hitam pada kulit,
kotoran mengapung,
hepatopancreas putih/
kemerahan
Vitamin C 1-3 g/kg pakan
selama 3-5 hari
Buang lapisan air dasar,
sifon lumpur dengan
hati-hati pada siang
hari.
Tumbuhkan fitoplankton
Lumutan Kulit seperti berbulu,
tubuh keropos/kusam,
insang kotor
Saponin 10-15 ppm, dengan
catatan udang kondisi sehat,
umur udang lebih 30 hari.
Perlakuan saponin setelah
ganti air.
Buang lapisan lumpur
organik dan ganti air
sekitar 30%. Setelah
saponin netral dapat
dipelihara bandeng/nila
jantan 100 ekor/ha.
Insang hitam
(bakterial,
parasiter,
penempelan
kotoran)
Insang udang berwarna
coklat hingga kehitaman
Vitamin C 1 g/kg pakan. Hindarkan pertumbuhan
klekap. Kendalikan
populasi alga dengan
mengatur kecerahan
air. Pembuangan
lumpur dasar. Ganti air
sekitar 10-30%.
Penyebab belum
diketahui, dapat
ditemukan
dengan
pengamatan
reguler 10 hari
Tanpa gejala visual
Sel insang membengkak
(mikroskopis 40 x 10)
gejala Fisiologis dan virus
Vitamin C 2 g/ kg pakan
selama 3 hari berturut turut
Pergantian air 20 –
30%
Pergantian jenis pakan
7.3. Perlakuan pada abnormalitas non patogenik
a. Kulit kotor/insang kotor : sebagai akibat parasit, dan dasar tambak
kotor oleh sisa pakan. Cara mengatasinya dengan mengganti air 50 - 70 %
dan dasar dibersihkan melalui central drain, menambah jumlah kincir. Air
yang jernih pada saat bulan pertama akan merangsang tumbuhnya klekap
dasar, yang kemudian akan terjadi kematian klekap ini dan menyebabkan
pelumpuran organik di dasar tambak. Menghindari pertumbuhan klekap
dilakukan dengan pemupukan yang sesuai serta menginokulasi bibit
fitoplankton.
b. Anggota tubuh tidak lengkap : akibat terlalu padat, kurang makan, bila
menghitam akibat terserang bakteri. Cara mengataasinya dengan
meningkatkan daya dukung tambak : penggantian air, penambahan jumlah
kincir, frekuensi dan jumlah pakan yang tepat dan tambahkan feed additive
(Vitamin C).
c. Udang keropos : karena kurang makan/tidak mau makan, kualitas pakan
kurang baik, mungkin sudah tengik, kualitas air memburuk, kurang kalsium,
lama tidak ganti kulit. Pengobatan : perbaikan kualitas air dan dasar tambak,
perbaiki perhitungan populasi udang, evaluasi perbaikan nafsu makan bila
masih rendah, berikan atraktan/feed additive.
d. Udang berenang abnormal : Insang merah jambu (kurang oksigen),: bila
berbuih, ganti air lalu tambah jumlah kincir agar minimal 4 ppm pada pagi
hari. Insang kotor permanen coklat (protozoa); ganti air dan perbaiki kualitas
dasar. Insang temporer hitam (karena lumpur atau bakteri), tutup insang
membuka karena kontaminasi racun plankton, seperti Dinoflagellata
Psecothrixcola. Cara mengatasinya lakukan pergantian air dan perbaiki
dasar tambak.
e. Usus dan hepatopancreas (HP) abnormal : Usus kosong atau isi usus
terputus-putus, karena air kurang oksigen, jenis pakan tidak sesuai, pakan
rusak, atau nafsu makan hilang karena dasar tambak kotor. Kotoran berupa
lendir seperti putih susu, disebabkan karena memakan bangkai, atau kurang
pakan. Bila kotoran putih dan mengapung, HP putih/hijau muda karena
vibriosis (bakteri), maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan, pengaturan
dosis pakan dan pemberian vitamin C.
7.4. Pencegahan umum
a. Air pemeliharaan diusahakan bebas kontaminasi virus dengan melakukan
pengendapan, penyaringan air yang masuk dan perlakuan Kaporit 30 ppm.
b. Penumbuhan fitoplankton sebagai penyerap racun dan suplai vitamin C dan
B12.
c. Pemberian antibiotika dilakukan bila > 2 % populasi memiliki gejala infeksi
bakteri. Gunakan jenis antibiotika yang tidak termasuk ‘antibiotik’ terlarang,
terutama oleh negara Eropa, Amerika dan Jepang. Pemberian pakan melalui
teknik pelapisan (coating) dengan binder telur atau kanji (0.16 %) atau
agar-agar. Dosis obat : 2 ppm biomassa udang, 2 kali sehari hingga 3 hari
berturut-turut (contoh 2 gr/kg pakan). Jenis antibiotika OTC, Erythromycine,
Kanamycine.
d. Pemberian vitamin C (immunostimulant), E (Antioksidan) dan Vitamin A
(penghilang stress), B12 (nafsu makan), minyak cumi atau minyak ikan
(attraktan, sumber Omega 3), untuk pertumbuhan dan energi semuanya
diberikan melalui teknik coating/pelapisan. Vitamin C atau Vitamin B yang
dapat larut di air dapat diberikan melalui proses osmosis. Vitamin dilarutkan
dan air sebanyak 2 – 3 % dari volume ikan rucah potong segar yang belum
direndam. Campurkan selama 2 jam, setelah meresap diberikan.
Populasi udang dikatakan mengalami serangan penyakit dan harus
dilakukan tindakan apabila udang yang abnormal mencapai lebih dari 2 %
populasi dan dikatakan sudah parah dan mempertimbangkan panen bila lebih
dari 10%.
Khusus untuk gejala serangan virus (misalnya bercak putih dan sel-sel
hipertrofi) walaupun dalam jumlah sedikit, harus segera diambil tindakan.
Apabila udang terlihat bercak tetapi masih terlihat bersih bagian insangnya dapat
ditingkatkan kesehatannya dengan mengganti air dengan air kualitas baik dan
menambah kincir dan pemberian vitamin C, serta menyedot lumpur dasar.
Tetapi apabila selain bercak putih juga udang terlihat berlumut harus segera
dilakukan isolasi dan pemanenan.
Perhitungkan :
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum penebarana udang
antara lain: musim hujan dan pengaruhnya pada kondisi hidrografis lokasi
tambak setempat, seperti kekeruhan, fitoplankton, tanah masam/pirit, kematian
organisme di sekitar lokasi dan sejarah pemanfaatan tambak (berapa tahun
operasional, tingkat teknologi yang digunakan dll).
7.5. Teknik sampling, pencatatan dan analisis data
7.5.1. Monitoring bakteri air
Analisis bakteri air harus dilakukan dengan cara aseptik; botol samPLe
yang sudah steril yang disimpan dalam PLastik steril dikeluarkan dan dibuka
serta ditutup di dalam air. Sampel harus diambil pada wilayah yang mewakili
70% kondisi tambak misalnya di daerah pinggir, kedalaman 50 cm, berarus dan
jauh dari pintu pembuangan.
7.5.2. Monitoring kesehatan udang
a. sebelum pakan diberikan untuk memantau yang tidak normal atau tidak sehat
b. setelah memberi makan untuk memantau yang masih memiliki nafsu makan
baik
Titik Pengamatan :
• Dilakukan di daerah pinggir pematang (setiap saat), didaerah titik mati
(central drain atau daerah kotor)
• Dengan jala, 7-10 hari sekali, pada saat sampling rutin.
• Bila kasus penyakit sering/banyak terjadi, perlu dilakukan analisis laboratoris
Analisis penyakit bakterial dan jamur dapat dilakukan di laboratorium.
Sampel sebaiknya dalam keadaan hidup. Bila sampel sudah mati (kematian
kurang dari 15 menit) harus dimasukkan ke dalam plastik steril berlabel,
dimasukkan kedalam thermos es dengan suhu maksimum 2o C, paling lama 24
jam.
Pengamatan khusus parasit Protozoa pada kulit atau insang spesimen/
potongan udang dapat diamati dengan mikroskop 10 x 10 atau dimasukkan ke
dalam larutan formalin 10 % bila hendak dikirim ke laboratorium
Sampel untuk analisis PCR bagi pemeriksaan virus (misalnya WSSV)
harus dimasukkan ke dalam larutan Ethanol 70 %, dengan volume udang :
ethanol = 1 : 9, atau dalam formalin 10 % dalam botol berlabel untuk benih –
tokolan (juwana). Bila udang berukuran lebih dari 3 gram, udang harus
dipotong dan dimasukkan dalam larutan pengawet (fiksatif). Setelah 1 x 24
jam, Ethanol diganti seluruhnya. Udang sebagai spesimen uji WSSV harus
diambil secara acak. Untuk pembuktian dapat diambil secara terpilih dari udang
yang sekarat/stres atau baru mati dipinggir pematang.
Udang bagi pengujian virus MBV dan IHHNV dapat dipilih dari
subpopulasi yang berukuran ekstrim kecil dan berkulit kusam. Pengkodean label
harus singkat namun memberi kemampuan kita untuk melacak kejadian dengan
mudah, sebagai contoh:
Daerah ; Desa Serangan, Kabupaten Demak, Tambak A1 atau pemilik,
Januari 27, tahun 2006, Status tambak (Sakit - S, Normal - N) Portozoa/Bakteri,
Virus, Ulangan/sampel ke 2.
Maka kode dapat dibuat :
Serangan - Demak/A1/01-27-06/S/n-2
VIII. PENDUGAAN POPULASI DAN PENENTUAN PAKAN
Pendugaan populasi udang yang dipelihara merupakan faktor dengan
tingkat kesulitan yang tinggi karena harus dilakukan secara berulang-ulang dan
dengan cara yang tepat. Kegiatan ini akan sangat menentukan jumlah pakan
yang harus diberikan dan pada teknisi yang berpengalaman juga akan digunakan
sebagai acuan strategi manajemen air dan lumpur didasar tambak.
8.1. Sampling
8.1.1. Waktu sampling
a. Waktu pelaksanaan sampling idealnya pagi hari jam 07.00 atau sore setelah
jam 16.00, kincir dimatikan setengah jam sebelum sampling, diadakan
penundaan pemberian pakan sampai setelah sampling dilakukan dengan
tujuan supaya udang tersebar merata keseluruh areal.
b. Sampling dilakukan setiap 7 hari sekali, dan tidak dilakukan pada saat
kondisi moulting massal.
c. Ukuran mata jala kecil untuk udang umur 1 – 2 bulan dan ukuran mata jala
normal rantai timbal yang berat (3 kg) untuk umur udang lebih dari 2 bulan.
d. Sampling pertama sebaiknya dilakukan pada saat udang umur 1 bulan (tebar
tokolan), umur 1,5 bulan (tebar PL 12).
8.1.2. Lokasi sampling
a. Frekuensi penjalaan dilakukan beberapa kali sehingga luas penjalaan
mencakup 2% - 4% luas tambak
b. Dilakukan pada daerah pinggir dan tengah dengan perbandingan frekuensi
7:3
c. Agar mewakili penjalaan dilakukan didepan dan dibelakang kincir,
d. Kepadatan udang/m2 di kali dengan faktor koreksi sebesar 0.7 hingga 0,8.
Gambar 23. Sampling udang menggunakan jala
8.1.3. Teknik perhitungan
a. Menentukan luas jala didarat (3,14 x r2), bila timahnya berat dikurangi 20%,
contoh bila didarat 6 m2, maka luas basah adalah 4,8 – 5 m2, juga perlu
dipertimbangkan bila air lebih dari 1,2 m dengan faktor koreksi 25%.
b. Jumlah udang (ekor/m2) dikalikan luas yang dihuni udang, sama dengan
populasi.
c. Sebaiknya pelaksanaan penjalaan untuk sampling dilakukan oleh satu orang
dan luas penjalaan harus stabil.
d. Dalam proses sampling teknisi harus memperhatikan luas bukaan jala pada
setiap tebar jala (Gambar 22).
e. Jumlah penjalaan untuk masing – masing luas :
• 3000 m2 – 5000 m2, dilakukan 9 kali penjalaan.
• 5000 m2 – 10.000m2, dilakukan > 10 kali penjalaan.
Catatan : hasil sampling udang yang dibawah ukuran standar sebaiknya disortir dan tidak
dimasukkan data.
8.1.4. Pendugaan dan perkiraan biomassa
a. Data hasil sampling dikelompokkan berdasarkan lokasi titik sampling &
hasilnya menentukan homogenitas ukuran populasi.
b. Populasi x ABW (berat rata – rata) = total biomassa
c. Bila ukuran udang terlihat bervariasi, maka udang dipilah berdasarkan
perkiraan ukuran dihitung & ditimbang jumlahnya masing – masing kelompok
dan dihitung prosentasenya karena akan menentukan strategi pemberian
pakan (frekuensi dosis dan ukuran).
8.2. Penentuan dosis dan frekuensi pakan
Dosis, diet (nomor pakan), dan frekuensi pemberian pakan dilakukan
sesuai dengan umur dan ukuran udang, seperti tabel 14.
Tabel 14. Pemberian pakan yang disesuaikan dengan umur dan ukuran udang
Umur
Udang
(hari)
Berat Ratarata
Udang
(gr)
Diet Pakan
atau (No.
Pakan)
Dosis
Pakan
(%)
Frekuensi
Pemberian
per hari (kali)
Respon
Udang dalam
Anco (jam)
1 – 15
16 – 30
31 – 45
45 – 60
61 – 75
76 – 90
91 – 105
106 – 120
0,005 – 1,0
1,1 – 2,5
2,6 – 5,0
5,1 – 8,0
8,1 – 14,0
14,1 – 20,0
20,1 – 26,0
26,1 – 30,0
I (1)
I (1+2)
I+II (2+3)
II (3+4)
II (3+4)
II (4)
II+III(4+5)
III (5+6)
75 – 25
25 – 15
15 – 10
10 – 7
7 – 5
5 – 3
5 – 3
4 – 2
2 – 3
2 – 3
3 – 4
3 – 4
4 – 5
4 – 5
4 – 6
4 – 6
2,5 – 3,0
2,5 – 3,0
2,0 – 3,0
2,0 – 2,5
1,5 – 2,0
1,5 – 2,0
1,0 – 1,5
1,0 – 1,5
Keterangan :
Angka Romawi I – III adalah penomoran untuk “Diet Pakan” (Diet I =Starter, Diet II = Grower,
Diet III = Finisher).
Angka 1 s/d 6 adalah merupakan pecahan ukuran pakan dari pihak pabrik dengan istilah
“Nomor Pakan”.
Tabel 15 . Pengaturan diet setelah melihat respon udang di anco
Terlihat Perlakuan
Habis Tambah diet berikutnya 5 %
Sisa < 10 % Berikutnya Tetap
Sisa 10 –25 % Kurangi diet berikutnya 10 %
Sisa 25 – 30 % Kurangi diet berikutnya 30 %
Sisa 50 % Kurangi diet berikutnya 50 %
8.2.1. Pengaturan pemberian pakan
a. Penghitungan jumlah pakan bisa dilakukan dengan FCR balik yaitu
dengan membagi FCR yang sudah ditargetkan dengan membagi
masing – masing bulan (bulan I – IV).
b. Pemberian pakan pada benih yang baru ditebar dihitung sebagai
contoh 100.000 PL X 0,01 gr = 1.000 gr. Untuk tambak yang gersang
(miskin pakan alami) diberikan 100% biomass setiap kali makan (1
kg). Untuk tambak yang kaya akan zooplankton pemberian 50%
biomass.
c. Cara pemberian pakan, pada bulan awal pemeliharaan pakan dalam
bentuk crumble, maka perlu dibasahi sedikit agar tidak tertiup angin,
serta mudah tenggelam ke dalam air.
Pemberian pakan dapat ditambahkan atau dikurangi dari pakan yang
seharusnya apabila berada pada kondisi sebagai berikut :
a. 5 – 7 hari menjelang purnama pakan ditambah 10%.
b. Pada saat purnama atau kondisi moulting massal yang ditandai
dengan banyaknya cangkang yang ditemui dipermukaan air atau di
ancho, maka pakan dikurangi sebanyak 10 - 20%.
c. Pada saat suhu kurang dari 250 C (pada kondisi dini hari/musim
bediding sekitar Juli – September di pulau Jawa) pakan dikurangi
30%.
d. Penurunan kualitas air seperti : pH lebih dari 8,9; alkalinitas kurang
dari 100 ppm; oksigen kurang dari 2,5 ppm pakan diberikan sesuai
dengan laju konsumsi di anco dan aktivitas udang mencari pakan
disepanjang pematang (Tabel 13).
Bila didapati kelompok ukuran udang yang berbeda pada bulan kedua
atau ketiga, udang besar diberi pakan sesuai dengan prosentase populasinya,
setengah jam kemudian diberikan untuk porsi udang yang kecil. Cara kedua
pakan dibagi atas porsi masing–masing ukuran dan diberikan serentak.
8.2.2. Istilah pada perhitungan populasi dan pertumbuhan
a. Pengertian Istilah
ABW (Average Body Weight)---Adalah berat rata-rata udang hasil sampling
ABW (gram/ ekor) = berat udang satu jala : jumlah udang satu jala
ADG (Average Daily Gain)---Adalah pertambahan berat-rata-rata harian yang
biasanya dihitung setiap 10 hari
ADG (gram/ekor/hari) = (ABW sekarang - ABW 10 hari sebelumnya) : 10
S.R (Survival Rate - Kelangsungan Hidup)---Adalah perkiraan tingkat kehidupan
udang sekarang dibandingkan saat penebaran.
SR (%) = ((Jumlah populasi/ jala x luas tambak) : jumlah Penebaran) x 100 %
b. Tabel isian harian
Sebuah papan pencatatan data harian harus ditulis di papan tulis putih (White
board) dengan isi data yang mencerminkan perkembangan kondisi tambak
minimal hingga 4 hari ke belakang. Penulisan hendaknya menggunakan
spidol/marker white board hitam atau hijau sedangkan hal-hal kritis seperti DO
rendah, temperatur rendah atau sisa pakan dicatat oleh spidol berwarna merah.
Contoh tabel isian harian
Nafsu makan
di anco
Jumlah
pakan
Temp/
T salinitas
g
l
Jam Sisa
Perkiraan
Biomas Jam Jml
Kecerahan
(cm)
Warna
Air/transparansi
(cm)
pH
D.O
pagi
T S
% ganti
air
IX. PENENTUAN DAN STRATEGI PANEN
Panen merupakan kegiatan akhir dalam suatu proses produksi.
Keuntungan serta keberhasilan akan ditentukan pada kegiatan ini. Banyak faktor
teknis dan pertimbangan pasar yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan
panen yang akan diuraikan pada petunjuk di bawah ini.
9.1. Pertimbangan panen
Ada dua pertimbangan utama dalam menentukan panen, yaitu faktor
internal dan eksternal.
Pertimbangan internal tambak, antara lain :
a. menurunnya daya dukung lingkungan
b. pertumbuhan udang melambat
c. adanya gejala penyakit
d. masa pemeliharaan telah mencukupi
Pertimbangan eksternal, antara lain :
a. Faktor keamanan
b. Musim/cuaca
c. Harga pasar
d. Kondisi pasang surut
e. Kualitas air pasok tidak mendukung
f. Adanya wabah penyakit di sekitar tambak
9.2. Penentuan waktu panen
Panen sebaiknya dilakukan pada malam hari agar udang yang dipanen
tidak cepat rusak karena suhu tinggi. Sebagai konsekuensinya sarana
penerangan harus disediakan dalam jumlah yang cukup. Apabila konstruksi
tambak ideal, dan sarana panen mencukupi maka panen dapat dilakukan setiap
saat sesuai dengan kebutuhan.
Pemanenan juga harus memperhatikan cuaca dan periode bulan. Pada
musim hujan atau bulan purnama banyak udang yang berganti kulit/molting
sehingga harus dipertimbangkan agar harga udang dapat dijual dengan harga
maksimal. Pemanenan setelah musim udang molting adalah yang terbaik.
9.3. Strategi pelaksanaan
a. Mengurangi udang molting
• Pergantian air dalam jumlah diatas normal maksimum dilakukan 3 hari
sebelum panen.
• Bila didapati banyak udang molting (> 5%), maka semalam sebelum
panen tambak diberi kapur, sebanyak 2 ppm, bisa diulangi dengan dosis
yang sama 5 jam sebelum panen bila kondisi udang masih banyak yang
lunak. Dengan cara ini kulit udang akan cepat mengeras.
b. Teknik sampling untuk panen
• Untuk mendapatkan taksiran ukuran udang yang mendekati sebenarnya,
maka sampling dilakukan 1 jam sebelum pemberian pakan
• Keseragaman ukuran udang pada saat panen dapat dilakukan dengan
sortasi terhadap udang kecil (undersize), 1.5 bulan sebelumnya melalui
penjalaan berkali-kali.
c. Teknik panen
Panen harus dilakukan secepat mungkin dengan perhitungan sarana telah
tersedia dalam jumlah yang cukup diantaranya :
• Pintu air yang dapat dipasangi jaring kantung panen
• Pagar bambu (kerei) rapat sebagai pencegah lolosnya udang
• Pompa bantu untuk mempercepat pengeringan tambak
• Wadah pencucian udang secara cepat
• Wadah pendinginan 500 liter berisi es sehingga udang mati pada suhu
tubuh 5o C.
Air diturunkan hingga tinggal 50 %, selanjutnya saringan kantung
dipasang di luar pintu air. Agar arus air tidak terlalu deras, perbedaan air di
dalam dan saluran diusahakan maksimum hanya 40 cm sehingga udang tidak
rusak.
Beberapa tambak sulit dikeringkan secara gravitasi. Untuk tambak seperti
ini dapat dilakukan penjalaan pada daerah yang jauh dari pintu air panen pada
saat air tambak tinggal 30 cm (Gambar 24). Kemudian, perlu diusahakan agar
udang dapat mengumpul disekitar pintu. Mengoperasikan jaring angkat/branjang
(lift net) dapat membantu mempercepat pemanenan.
Gambar 24. Panen dengan menggunakan jala tebar
d. Cara penjualan
• Dijual langsung ke cold storage
• Dijual dengan sistem lelang
e. Pasca panen
Udang akan berkualitas baik di tangan konsumen akhir apabila sejak
panen ditangani dengan teknik yang standar, antara lain:
• Mengangkut udang dari tambak secepatnya untuk dibersihkan
• Membilas udang dengan air bersih
• Mematikan udang dengan air es (es curah) pada suhu 10o C selama 3 – 5
menit
• Memilah udang berdasaran ukuran dan kualitas (Gambar 25)
• Segera menimbang udang
• Memberi es pada udang yang telah dipilah dengan berselang masingmasing
setebal 10 cm.
Gambar 25. Sortir udang berdasarkan ukuran dan kualitas
Dengan cara di atas, penurunan kualitas dan rasa udang hampir tidak
terjadi dan pembeli di luar negeri akan menghargainya dengan memberi harga
lebih tinggi.
X. ANALISA USAHA
Analisa usaha secara sederhana untuk usaha budidaya udang windu
dengan teknologi intensif dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Analisa Usaha Budidaya Udang Windu Teknologi Intensif
No. Komponen Jumlah Nilai
Satuan
Harga/Unit
(Rp.)
Jumlah
(Rp.)
I Investasi
Sewa tambak (1,5 ha/th) 1,5 ha 3.000.000,- 4.500.000,-
Pompa 6” lengkap 2 unit 4.500.000,- 9.000.000.-
Kincir berangkai 2 unit 6.000.000,- 12.000.000,-
Peralatan lapangan (jala,
ember dll)
1 paket 1.000.000,- 1.000.000,-
Perbaikan konstruksi tambak 1,5 hektar 2.000.000,- 3.000.000,-
Jumlah I 29.500.000,-
II Biaya Operasional/siklus
(5 bulan)
a. Biaya tetap
Sewa tambak (1 ha/siklus) 2.250.000,-
Penyusutan pompa
(10%/siklus)
1.700.000,-
Penyusutan kincir
(10%/siklus)
2.500.000,-
Penyusutan peralatan
lapangan (25%/siklus)
250.000,-
Penyusutan kontruksi
tambak (25%/siklus)
750.000,-
Jumlah II a 7.450.000,-
b Biaya tidak tetap (biaya
variabel)
Persiapan lahan 1,5 ha 1.000.000,- 1.500.000,-
Benih 300.000 ekor 35,- 10.500.000,-
Pakan 7.000 kg 9.200,- 64.400.000,-
Probiotik 200 liter 40.000,- 8.000.000,-
Kaporit 70 galon 135.000,- 9.450.000,-
Inokulan plankton 20 ton 35.000,- 700.000,-
Pupuk an organik 200 kg 1.600,- 320.000,-
Kapur 2.000 kg 450,- 900.000,-
BBM (kincir, pompa dll) 5.000 liter 5.000,- 25.000.000,-
Tenaga kerja (2 x 5 orang) 10 OB 750.000,- 7.500.000,-
Biaya panen 2 unit 1.000.000,- 2.000.000,-
Jumlah II b 130.270.000,-
Total biaya operasional
(IIa+IIb)
Per siklus (5 bulan) 130.270.000,-
Per tahun (2 siklus) 260.540.000,-
III Produksi
Kelangsungan hidup 65% ukuran panen
35 gram/ekor, harga jual Rp. 50.000,-/kg,
produksi 2 kali pertahun
Pendapatan dari produksi :
65% x 300.000 ekor x 25 gram (persiklus) 4.875 kg 50.000,- 243.750.000,-
Per tahun 2 siklus 9.750 kg 50.000,- 487.500.000,-
IV Suku bunga investasi per tahun 20 % 5.900.000,-
V Keuntungan bersih sebelum pajak
Per hektar/sikuls 113.480.000,-
Per hektar/tahun (2 siklus) 226.960.000,-
VI Rentabililitas ekonomi 78%
VII B/C Ratio 1.87
VIII Pay back periode(tahun) 1.2
Keterangan :
Dinilai dari rentabilitas ekonomi (78% > 20%) dan B/C ratio (1,87 > 1), maka usaha
budidaya udang windu intensif layak dilakukan. Tentu saja harus menerapkan
keseluruhan standar prosedur yang dipersyaratkan.
PENERAPAN BEST MANAGEMENT PRACTICES (BMP)
PADA BUDIDAYA UDANG WINDU
(Penaeus monodon Fabricius) INTENSIF
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2007
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
Dr. Ir. M. Murdjani, M. Sc
Penyusun
Ir. Zaenal Arifin, M. Sc
Ir. Darmawan Adiwidjaya
Ir. Ujang Komarudin, M. Sc
Ir. Abidin Nur, M. Sc
Ir. Adi Susanto, M. Sc
Drs. Arief Taslihan, M. Si
Ir. Kade Ariawan
Ir. Maskur Mardjono
Erik Sutikno, SP
Supito, S. Pi
Ir. M. Syahrul Latief, M. Si
Editor
Ir. Zaenal Arifin, M. Sc
Dr. Ir. Coco Kokarkin, M. Sc
Drs. Tri Prasetyo Priyoutomo
KATA PENGANTAR
Perkembangan budidaya udang windu kini dihadapkan pada suatu kondisi yang
kurang menggembirakan. Rangkaian kegagalan yang diakibatkan oleh kombinasi
berbagai faktor memerlukan solusi dan jalan keluar yang komprehensif; dengan
melibatkan multi-disiplin ilmu dan keahlian untuk bekerja secara sinergis. Di samping it
dalam era perdagangan global dewasa ini, proses produksi perikanan budidaya –dalam
hal ini udang tambak– mesti memenuhi kriteria food safety yang telah disepakati oleh
masyarakat dunia; baik menyangkut hazard analysis (HACCP), Best Management
Practices (BMP), hingga persyaratan ramah lingkungan (environmental controls).
Walaupun udang windu merupakan komoditas unggulan bagi sektor perikanan
budidaya, namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi tambak udang di Indonesia
hampir selalu tertinggal, berbagai permasalahan dan kendala yang terus merebak lebih
cepat. Akibatnya budidaya udang windu menjadi terpuruk dan tidak mudah untuk
bangkit kembali. Semakin besarnya beban pencemaran di wilayah pantai, merebaknya
berbagai jenis penyakit hingga faktor sosial-ekonomi yang tidak kondusif, semakin
menempatkan usaha budidaya udang pada posisi yang kian labil. Tidak kurang dari
80% lahan tambak udang yang pada era tahun 80-an sangat produktif, kini menjadi
lahan kosong, atau dialihkan menjadi tambak garam tradisional.
Beberapa konsep teknologi tambak udang telah dikaji oleh BBPBAP Jepara atau
pihak lain yang berkompeten. Namun perlu diakui bahwa tidak mudah menyebarkan
teknologi tersebut secara utuh kepada petambak dengan kondisi lahan, sosial ekonomi,
dan karakeristik petambak yang sangat variatif. Upaya diseminasi yang diprogramkan
untuk mempercepat penyebaran teknologi seringkali terkendala oleh faktor teknis dan
non-teknis, sehingga upaya pembaruan prosedur operasional budidaya merupakan
suatu pilihan yang harus dilakukan.
Standard Operational Procedures (SOP) ini disusun berdasarkan pengalaman
teknis BBPBAP di berbagai tempat dalam beberapa tahun terakhir. Buku ini juga
dilengkapi dengan berbagai informasi dari para pakar dalam dan luar negeri. Standar ini
dapat dipergunakan sebagai rujukan pengembangan teknologi budidaya udang dengan
pola intensif, atau juga tingkatan teknologi yang lebih rendah seperti pola semi intensif.
Kami menyadari bahwa masih ada bagian-bagian yang terlewatkan atau tidak
sempurna. Untuk itu saran dan masukan akan kami terima dengan baik.
Semoga bermanfaat.
Jepara, Mei 2007
Kepala Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara
Dr. Ir. M. Murdjani, M. Sc.
NIP. 080053497
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ........................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... vi
I. PENDAHULUAN .............................................................. 1
II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA ....... 3
III. DISAIN DAN TATA LETAK TAMBAK ............................... 4
3.1. Lokasi dan jenis lahan ................................................. 4
3.2. Bentuk petakan ........................................................... 4
3.3. Peran dan bentuk saluran pembuangan ........................ 6
3.4. Pintu dan pengeluaran lapisan air ................................. 8
3.5. Caren (peripheral canal) .............................................. 10
3.6. Penempatan kincir, pengaturan arah kincir dan caren
internal .......................................................................
10
3.7. Sumber tenaga listrik ................................................... 11
3.8. Peralatan monitoring kualitas air .................................. 11
IV. PERSIAPAN TAMBAK ...................................................... 13
4.1. Konstruksi .................................................................. 13
4.2. Tanah dasar ............................................................... 15
4.3. Air .............................................................................. 17
V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN
BENIH ............................................................................. 25
5.1. Pemilihan benih .......................................................... 25
5.2. Transportasi ............................................................... 28
5.3. Penebaran benih ......................................................... 28
VI. MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR .................................... 30
6.1. Pengisian air ............................................................... 30
6.2. Penggantian air ........................................................... 30
6.3. Manajemen kualitas air ................................................ 32
6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan dan panen ..... 43
6.5. Aplikasi probiotik ......................................................... 43
VII. MANAJEMEN KESEHATAN UDANG ................................. 45
7.1. Penyakit udang ........................................................... 45
7.2. Monitoring kesehatan udang ........................................ 53
7.3. Perlakuan pada abnormalitas non patogenik ................. 55
7.4. Pencehagan umum ...................................................... 56
7.5. Teknik sampling, pencatatan dan analisa data ............... 57
VIII. PENDUGAAN POPULASI DAN PENENTUAN PAKAN ...... 59
8.1. Sampling .................................................................... 59
8.2. Penentuan dosis dan frekuensi pakan ........................... 61
IX. PENENTUAN DAN STRATEGI PANEN ............................. 63
9.1. Pertimbangan panen ................................................... 63
9.2. Penentuan waktu panen .............................................. 63
9.3. Strategi pelaksanaan ................................................... 64
X. ANALISA USAHA ............................................................ 67
DAFTAR TABEL
Tabel
halaman
1. Jumlah kapur yang diberikan (kg/Ha) berdasarkan pH .................... 17
2. Kisaran kualitas air pasok yang ideal untuk budidaya udang ........... 18
3. Kriteria kuantitatif benur udang windu .......................................... 27
4. Perhitungan teknik transportasi PL udang yang direkomendasikan .. 28
5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi .......... 32
6. Jenis kapur dan penggunaan ........................................................ 33
7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu
berbeda ...................................................................................... 36
8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen ............................ 43
9. Jenis-jenis virus yang menginveksi udang penaeid ......................... 47
10. Inang yang terdeteksi virus DNA secara alami maupun
eksperimental .............................................................................. 48
11. Inang yang terinfeksi virus RNA secara alami maupun
eksperimental .............................................................................. 48
12. Standar kesiapan tambak pada penebaran benih udang ................. 54
13. Jenis penyakit umum dan teknik pengobatannya ........................... 55
14. Pemberian pakan yang disesuaikan dengan umur dan ukuran udang 61
15. Pengaturan diet setelah melihat respon udang di anco ................... 61
16. Analisa usaha budidaya udang windu teknologi intensif .................. 67
DAFTAR GAMBAR
Gambar
halaman
1. Disain dan layout tambak ............................................................. 3
2. Beberapa disain tambak ............................................................... 6
3. a. Sistem pembuangan lumpur tengah dengan buis beton
berlubang ..............................................................................
b. Sistem pengeluaran lumpur tengah dengan buis beton berpipa
(pola matahari) ......................................................................
c. Sistem pengeluaran dengan pipa tegak berlubang di dalam
tambak ..................................................................................
d. Sistem pengeluaran dengan pipa tidur berlubang di dalam
tambak ..................................................................................
6
7
7
8
4. a. Pintu monik beton (elevasi, ukuran, perlengkapan) ...................
b. Pintu monik gorong-gorong .....................................................
c. Pintu air monik untuk mempermudah pengaturan level/lapisan
air yang akan dibuang pada pintu yang berdimensi besar ..........
8
9
9
5. a. Mengubah arah kincir bertahap ke arah caren tengah ...............
b. Arah kincir tetap, banyak caren yang disifon (dihisap pompa)
secara berkala ........................................................................
10
10
6. Sumber tenaga listrik ................................................................... 11
7. Peralatan analisa kualitas air ........................................................ 12
8. a. Pembalikan tanah dasar tambak ..............................................
b. Pengapuran setelah dilakukan pembalikan tanah ......................
17
17
9. Contoh kawasan pertambakan udang ............................................ 20
10. Sistem biosecurity pada budidaya udang intensif ........................... 23
11. Kegiatan pemanenan benih udang ................................................ 27
12. Penebaran benih ......................................................................... 29
13. Air buangan dari hasil budidaya udang intensif .............................. 31
14. Pengaturan blower ...................................................................... 41
15. Virus penyebab penyakit bercak putih ........................................... 46
16. Udang yang terserang virus bercak putih viral ............................... 46
17. Selain bercak putih, udang juga berlumut ...................................... 47
18. Penyakit udang kerdil, karena infeksi IHHNV ................................. 49
19. Inveksi monodon baculovirus ....................................................... 50
20. Hasil elektroforesis dari PCR ......................................................... 50
21. Penyakit nekrosis bakterial ........................................................... 52
22. Penyakit udang kotor ................................................................... 52
23. Sampling udang menggunakan jala ............................................... 60
24. Panen dengan menggunakan jala tebar ......................................... 65
25. Sortir udang berdasarkan ukuran dan kualitas ............................... 66
I. PENDAHULUAN
Kondisi Budidaya Udang Windu
Intensifikasi diartikan sebagai peningkatan hasil dengan menambah input
produksi tanpa adanya perluasan lahan. Dengan perkataan lain intensifikasi
adalah peningkatan hasil produksi dengan memaksimalkan daya dukung lahan
yang ada. Terdapat sebuah relevansi yang erat antara produksi dengan daya
dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung lingkungan (atau hasil
produksi), dapat diperbesar sampai pada tahap tertentu, bukannya tanpa batas.
Dan perlu diketahui bahwa daya dukung lahan adalah suatu yang dinamis, akan
berubah setiap saat. Karenanya budidaya udang windu intensif adalah proses
produksi biomass yang hasilnya dapat ditargetkan pada besaran tertentu, sejauh
persyaratan pokok dan pendukung kehidupan serta pertumbuhan dapat dipenuhi
untuk persyaratan hidup yang normal. Usaha budidaya udang windu intensif
pernah menunjukkan hasil yang memuaskan, hingga Indonesia menjadi salah
satu produsen udang papan atas di dunia yang pada tahun 1994 mampu
mencapai angka produksi 160.000 ton/tahun.
Ternyata masa kejayaan udang windu terhenti setelah adanya serangan
penyakit virus yang menginfeksi udang di tambak dan bahkan mencemari induk
udang di laut. Harus diakui bahwa rangkaian keberhasilan produksi pada masa
lalu, ternyata tidak menyisakan prosedur baku yang dapat diterapkan untuk
mengulang keberhasilan tersebut di masa kini. Karenanya, alasan keberhasilan
atau pun kegagalan budidaya pada masa sekarang adalah merupakan interaksi
beberapa faktor sekaligus dilakukan di suatu tempat pada waktu tertentu,
cenderung tidak replicable, sehingga pelaksanaan budidaya terkesan menjadi
sangat subyektif (bergantung kepada intuisi dan kejelian teknisi, dibanding
berpedoman pada kaidah-kaidah budidaya yang umum).
Pada tahun 1995, Balai Budidaya Air Payau (sekarang BBPBAP) Jepara
mengembangkan teknologi resirkulasi tertutup pada tambak udang windu
dengan menerapkan biofiltrasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan bandeng,
kekerangan dan rumput laut. Kemudian pada tahun 1998 mulai dikaji teknologi
sistem tertutup dengan proteksi ganda yang melibatkan sterilisasi media dan
seleksi/pemilahan benih berkualitas dengan peluang keberhasilan yang sangat
tinggi (lebih dari 80%) saat itu. Namun dewasa ini langkah-langkah tersebut
sudah tidak menjamin keberhasilan usaha produksi sehingga masih perlu
disempurnakan.
Beberapa pendekatan baru mulai dikembangkan walaupun masih
memerlukan pengkajian lebih lanjut. Misalnya saja penerapan probiotik, konsep
penyeimbangan C/N rasio dan aplikasi imunostimulan. Bahkan introduksi spesies
baru dari luar negeri seperti udang rostris (Litopenaeus stylirostris) dan udang
vaname (L. vannamei) telah pula dilakukan untuk meningkatkan produksi udang
dalam negeri.
Titik terang akan pemecahan sederet masalah memang sudah muncul.
Misalnya kesadaran terhadap konsep biosecurity, penggunaan benih unggul
(high health), sistem budidaya terpadu, best management practices, yang
berbasis pada penerapan budidaya ramah lingkungan mulai dianut para
petambak sesuai tingkat pemahamannya. Namun tidak sedikit pula yang masih
bertahan pada pola lama karena berbagai keterbatasan. Kemajuan di bidang
penyakit (manajemen kesehatan hewan akuatik) telah membawa babak baru
dalam perkembangan budidaya udang windu. Dewasa ini telah berhasil
diidentifikasi berbagai patogen mematikan yang hampir selalu hadir dalam
pertambakan udang kita. Mulai dari penyakit vibriosis (karena Vibrio harveyi),
penyakit virus bercak putih/panuan atau systemic ectodhermal mesodhermal
bacculo virus (SEMBV), hingga Taura syndrom yang merupakan pendatang dari
benua Amerika. Kesadaran akan wabah penyakit melahirkan sikap lebih berhatihati
para petambak dalam melakukan usaha budidaya udang windu.
Dengan banyaknya kegagalan dan terus menurunnya produksi tambak
udang windu di Indonesia, BBPBAP memandang perlu melakukan evaluasi dan
pembaruan terhadap prosedur yang selama ini menjadi pedoman dalam
mengelola tambak. Teknologi yang telah dikembangkan dalam tahun-tahun
terakhir, dirasa perlu untuk dikompilasi dan diterbitkan dalam satu panduan
lengkap yang dapat dipakai acuan para petambak. Sebetulnya, prosedur ini
bukanlah suatu harga mati, karena pada kenyataannya akan ditemui berbagai
variasi yang spesifik lokasi/lahan, yang tentu saja membutuhkan kreasi dan
kecerdikan dari operator tambak yang menanganinya. Pada intinya, Standard
Operational Procedures (SOP) budidaya udang windu, diharapkan dapat menjadi
pendamping dalam melaksanakan budidaya udang windu yang lestari.
II. PENGERTIAN SISTEM TAMBAK DAN FUNGSINYA
Pengelolaan tambak dengan prinsip Best Management Practice (BMP)
harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
• Mendapatkan air pasok yang bebas hama penular dan logam berat yang
berbahaya.
• Tambak dapat menampung air dan mempertahankan kedalaman sesuai
yang diinginkan (tidak rembes).
• Mengeluarkan limbah dengan tingkat sedimen dan bahan organik terlarut
yang rendah.
• Dapat menjaga keseimbangan proses mikrobiologis.
• Menggunakan bahan kimiawi/obat-obatan yang aman bagi manusia dan
lingkungan.
• Menebar benih yang sehat.
Untuk memenuhi persyaratan di atas maka unit tambak terdiri dari :
• Saluran pengairan (sumber air pasok).
• Unit tandon (terdiri dari petak karantina, petak pengendapan, petak
biofilter).
• Petak pemeliharaan.
• Petak pengolahan limbah.
Secara diagramatik, pengaturan petakan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini
PT = Petak Treatment
PAS = Petak air siap pakai berisi ikan omnivora- herbivora (bandeng-mujair jantan/
nila jantan - belanak)
PT
PU PU PU
S S
SPN
Sungai/Laut
(Air Payau)
UPL
PAS
U = Petak pembesaran udang
SS = Saluran sedimentasi
SPN = Saluran penyerapan nutrient terlarut (rumput laut)
UPL = Petak pengolahan limbah (oksidasi dan pohon bakau)
Gambar 1. Disain dan lay out tambak
III. DISAIN DAN TATA LETAK TAMBAK
3.1. Lokasi dan Jenis lahan
Pembangunan tambak intensif dapat memanfaatkan lahan marginal
(tidak termanfaatkan) seperti misalnya rawa-rawa, lahan pasir, lahan pirit atau
gambut namun disesuaikan dengan konstruksi dasar dan pematang sebagai
contoh:
a. Konstruksi biocrete (campuran semen, ijuk, bambu dan dasar plastik).
b. Konstruksi plastik PE, Geotextile.
c. Konstruksi plastik berlapis pasir.
d. Dasar semen/concrete.
e. Konstruksi batako/bata merah.
f. Konstruksi bata putih (kapur gunung).
g. Konstruksi tanah liat.
3.2. Bentuk Petakan
a. Bentuk petakan : lingkaran, bujur sangkar atau empat persegi panjang
(1: 2).
b. Memiliki sudut tumpul.
c. Sisa lahan dengan petakan tidak beraturan dapat dimanfaatkan
sebagai tandon.
d. Luas ideal 3.000 - 5.000 m2.
e. Dimensi pematang disesuaikan dengan struktur, tekstur tanah, dan
kedalaman air tambak (lebih dari 1.2 m). Memiliki tabel pasang surut
dan gambaran pasang surut lokal. Lebar atas minimal 3,5 m untuk
pematang utama.
f. Dimensi saluran : mempertimbangkan kebutuhan air, fenomena
pasang surut lokal dan simpangan waktu.
g. Peletakan sarana listrik tertata rapi
Tolok Ukur Pekerjaan :
a. Tidak ada titik mati di dalam tambak.
b. Efektif dan efisien dalam hal abtara lain penggunaan lahan,
penggunaan kincir, penanganan.
c. Pematang memiliki aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4.
d. Tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal.
e. Jaminan keamanan dan keselamatan kerja tinggi.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka bentuk tambak yang mudah
mengeluarkan limbahnya adalah tambak lingkaran atau bujur sangkar dengan
sudut melengkung. Namun pada prinsipnya, proses pengendapan limbah pada
salah satu wilayah kecil di tambak harus dapat dilakukan dengan manipulasi
saluran tengah, kolam tengah di dalam tambak dan yang paling berperan adalah
peletakan kincir air tunggal atau berangkai seperti contoh berikut ini.
a) Desain Tambak ukuran 4000 m2 lingkaran dan bujur sangkar dan
pengaturan Kincir 1.5 HP
b). Disain tambak dengan luas > 5000 m2
5-8
12 – 15 m
c) Disain tambak dengan pendorongan limbah ke titik tertentu
Pola Dorong satu arah Pola Kupu-kupu
Gambar 2. Beberapa disain tambak
3.3. Peran dan Bentuk Saluran Pembuangan
Bentuk saluran pembuangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. a) Sistim pembuangan lumpur tengah dengan buis beton berlubang
dasar
Gambar 3.b) Sistim pengeluaran lumpur tengah dengan buis beton berpipa (pola
matahari)
Gambar 3.c). Sistim pengeluaran dengan pipa tegak berlubang di dalam tambak
Gambar 3. d) Sistim pengeluaran dengan pipa tidur berlubang di dalam tambak
3.4. Pintu panen dan pengeluaran lapisan air
Contoh pintu pembuangan dan panen dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4.a). Pintu monik beton (elevasi, ukuran, perlengkapan)
Gambar 4.b) Pintu monik gorong- gorong
Gambar 4.c) Pintu ulir monik untuk mempermudah pengaturan level/lapisan air
yang akan dibuang pada pintu yang berdimensi besar
3.5. Caren (Peripheral canal)
Pada umumnya caren hanya berfungsi pada saat panen. Namun kini caren
tengah juga sangat banyak manfaatnya dalam mengendapkan dan menampung
limbah untuk selanjutnya dihisap dengan pompa alcon (pompa centrifugal
bermesin) dengan diameter selang dan alat 2 inch.
a. Diperlukan pada saat persiapan untuk tambak yang memiliki masalah
rembesan atau sulit dikeringkan.
b. Luas dan kedalaman disesuaikan dengan tingkat perembesan dan
kemampuan pompa.
c. Bila dimanfaatkan untuk memudahkan panen, jaraknya 5 m dari kaki
pematang, miring ke arah pintu panen.
Tolok Ukur Pekerjaan :
• Pelataran kering.
• Saat panen, udang dapat mengumpul di caren dan mengarah ke pintu
panen.
3.6. Penempatan kincir, pengaturan arah kincir dan caren internal
Gambarr 5.a) Mengubah arah kincir bertahap ke arah
caren tengah
Gambar 5.b) Arah kincir tetap, banyak caren yang disifon (dihisap pompa)
secara berkala
3.7. Sumber Tenaga Listrik
Sumber tenaga listrik untuk budidaya udang intensif harus mampu
memenuhi kebutuhan listrik untuk mengoperasionalkan pompa air, blower,
kincir air, penerangan dan peralatan lainnya yang menggunakan sumber tenaga
listrik. Sumber tenaga listrik ini bisa dipenuhi dari dua sumber yaitu listrik dari
PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan atau dari genset. Untuk budidaya udang
intensif sebaiknya mempunyai kedua sumber listrik tersebut. Satu unit generator
pembangkit listrik harus selalu siap pakai saat terjadi gangguan listrik dari PLN
(Gambar 6).
Gambar 6. Sumber tenaga listrik
Tolok ukur pekerjaan :
Tersedia listrik 125 % dari kapasitas seluruh kincir air yang diperlukan
dalam jumlah terbanyak pada akhir masa pemeliharaan .
3.8. Peralatan Monitoring Kualitas Air
Peralatan monitoring kualitas air, penting untuk dimiliiki dalam usaha
budidaya udang secara intensif. Peralatan ini harus ada agar kualitas air di
tambak dapat dimonitor setiap saat dan dipertahankan pada kisaran optimum
untuk pertumbuhan dan perkembangan udang. Peralatan tersebut antara lain
termometer (pengukur suhu), refraktometer atau salinometer (pengukur
salinitas), DO meter (pengukur oksigen terlarut), pH meter, dan secchi disk
(pengukur kecerahan air), dan alat test kit, seperti untuk analisa alkalinitas, Nitrit
dan Nitrat, seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Peralatan analisa kualitas air
IV. PERSIAPAN TAMBAK
Persiapan tambak bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan,
dan produktivitas lahan, dengan mengeliminir faktor-faktor yang tidak
mendukung kelangsungan hidup udang dan mengoptimalkan beberapa faktor
yang memberikan dukungan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Uraian kegiatan ini mencakup perkerjaan konstruksi secara umum, persiapan
dasar tambak dan persiapan air, yang akan diuraikan dalam petunjuk berikut
ini:
4.1. Konstruksi
Konstruksi tambak yang ideal dapat mendukung budidaya udang bisa
dilaksanakan dengan sempurna dan efisien, yakni ; mampu menahan air, mampu
membuang air limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat
dikeringkan dengan mudah dan sempurna. Namun demikian sering kali
konstruksi tambak tidak atau kurang sempurna, seperti adanya bocoran dari
samping tambak, infiltrasi (rembesan air masuk), pintu air tambak kurang baik
dan elevasi dasar tambak tidak ideal. Apabila konstruksi tambak tidak ideal maka
langkah-langkah dan solusi yang harus dilakukan sebagai berikut.
4.1.1. Penutupan bocoran
Penutupan bocoran pada pematang dapat dilakukan dengan memasang
kasa atau waring ukuran mata jaring (mesh size) 1,0 mm dan atau ijuk (untuk
jangka panjang lebih baik). Alternatif penyumbatan dapat dilakukan dengan
menggunakan kerai bambu, gedek bambu dilapis aspal pasir. Bila kondisi
bocoran begitu berat, disarankan untuk memakai konstruksi lapisan plastik
Geotextile, plastik PEBC (Poly Ethylen Biphenil Chloride), bata plesteran, batako,
batu kumbung, plengsengan beton, dan pasangan batu.
Tolok ukur pekerjaan :
Pekerjaan berhasil bila tidak ada lagi bocoran atau maksimum kehilangan
air 5%/hari pada bulan pertama dan 2%/hari pada bulan kedua hingga panen.
4.1.2. Rembesan masuk
Bila tambak rembes atau sangat porous maka dilakukan perbaikan
konstruksi dasar tambak sebagai berikut :
a. Dilapisi dengan tanah yang didominasi liat melebihi 50%, sedalam
minimal 20 cm.
b. Dilapisi plastik poliethylene 0,2 mm dan diatasnya dilapisi pasir 5 –
10 cm
c. Plester dasar (teknik plester pakai sistem blok)
d. Untuk elevasi dasar tambak yang lebih rendah dari permukaan air
laut, maka solusinya dengan cara menimbun dasar tambak atau
membuat pematang di saluran keliling yang kedap air.
4.1.3. Sistim pembuangan
Memastikan air dapat dikeluarkan dengan sempurna, lumpur tidak
mengendap di pipa dan kotoran (limbah organik) dapat dikurangi, dengan cara :
a. Monik, dapat mengeluarkan air sesuai pada kolom atau lapisan
yang diuinginkan,
b. Monik harus dirancang agar dapat digunakan untuk panen sistem
kantong dengan dinding di depan monik harus diperkuat agar
tahan terhadap terjangan air,
c. Mampu atau terdapat sarana untuk melakukan pembuangan setiap
2 jam setelah pemberian pakan melalui sentral drain dan kolom air
melalui pintu air atau PVC,
d. Sentral drain harus memiliki saringan yang sesuai dengan ukuran
udang.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 mampu mengeluarkan air sesuai dengan kebutuhan.
4.1.4. Elevasi dasar petakan, saluran pembuangan, dan tandon
a. Dasar petakan diatur miring kearah pembuangan dengan slope
minimal 0,2%.
b. Beda elevasi dasar antara petakan pemeliharaan dan saluran
pembuangan minimal 25 cm, sedangkan elevasi tandon lebih
tinggi dari saluran tapi lebih rendah dari petak pemeliharaan. Bila
elevasi tidak sesuai maka untuk pengeringan gunakan pompa air.
c. Saluran pembuangan dapat dikeduk beberapa kali selama
pemeliharaan untuk menghindari pendangkalan oleh kotoran
tambak.
d. Dalam pengupasan tanah dasar, elevasi dikembalikan seperti
semula.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Air di petak pemeliharaan dapat terbuang hingga kering.
4.1.5. Rasio luas tandon : petakan pemeliharaan
Volume air yang tersedia dalam tandon memenuhi syarat minimum
kebutuhan air/hari dan pergantian air maksimum pada masa kritis (yaitu 30%
dari total volume tambak yang beroperasional) sehingga air yang siap pakai
dalam 1 hari harus mencapai 30 % dari areal. Sedangkan untuk petak
pengendapan dan penyerapan nutrient (petak pengolah limbah), dan petak
treatment awal memerlukuan areal tambahan sekitar 20 %.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Kualitas air tandon harus lebih baik daripada air di petak
pemeliharaan.
4.2. Tanah dasar
Tanah dasar tambak harus dalam kondisi yang sesuai untuk kehidupan
dan pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar waktu hidup dan
mencari makan udang berada di tanah dasar tambak. Oleh karena itu perlu
melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
4.2.1. Pengeringan
Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk :
a. Pengatusan (drainage).
b. Penjemuran agar gas-gas sisa metabolit dapat menguap.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Kadar air setelah pengatusan mencapai batas lekat (20 - 50%).
􀂃 Kadar air setelah penjemuran kurang dari 20%.
4.2.2. Pengupasan
Pengupasan dasar tambak penting untuk dilaksanakan, terutama untuk
tambak-tambak yang sudah sering digunakan untuk pmeliharaan udang atau
ikan secara intensif.
a. Dilakukan terhadap bahan endapan yang dapat dibedakan dari warna,
tekstur, bau, dll.
b. Dilakukan pada keadaan lumpur mulai pecah-pecah, kecuali pada
tambak dengan dasar keras atau dilapisi pasir.
c. Bahan terkupas dipindahkan ke area pengurusan tanah.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Profil sedimen homogen, warna tanah kecoklatan dan tidak berbau.
4.2.3. Pengolahan tanah dasar
Pengolahan tanah dasar tambak meliputi kegiatan :
a. Pembalikan tanah dasar bila profil telah homogen untuk
menyempurnakan proses oksidasi dalam tanah (Gambar 8).
b. Pengapuran bila pH tanah kurang dari 6,0 dengan dosis sesuai
Tabel 1.
c. Pemupukan menggunakan pupuk organik yang telah diolah,
dengan dosis bergantung kesuburan tanah.
d. Untuk tanah pyrit (reduksi sulfat) dilakukan pencucian dan
pengatusan berulang-ulang atau reklamasi tanah dasar dengan
ketebalan 10 - 20 cm dan pemberian pupuk organik pada saat
tanah masih basah, kemudian pematang dikapur.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Tanah menjadi gembur.
􀂃 pH meningkat menjadi lebih dari 6.
􀂃 Bahan organik tanah 5 - 10%
􀂃 Potensi redoks > -50mV.
􀂃 Pertumbuhan fitoplankton stabil.
􀂃 Untuk tanah pyrit tidak terjadi penurunan pH air dan air tidak bereaksi
merah.
Gambar 8.a. Pembalikan tanah dasar tambak
Gambar 8.b. Pengapuran setelah dilakukan pembalikan tanah
Tabel 1. Jumlah kapur yang diberikan (kg/Ha) berdasarkan pH tanah
pH Tanah CaCO3 Ca (OH)2 CaMgCO3
> 6 < 1000 < 750 < 920
5 – 6 < 2000 < 1000 < 1840
< 5 < 3000 < 1500 < 2760
Keterangan: CaCO3 (kapur pertanian), Ca(OH)2 (kapur tohor/gamping), CaMgCO3 (dolomit)
4.3. Air
Air merupakan media hidup udang, yang di dalamnya terdapat kandungan
oksigen terlarut untuk pernafasannya, makanan dan sumber beberapa mineral
bagi udang. Oleh karena itu air yang akan digunakan untuk budidaya udang
harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Beberapa kegiatan
yang harus diperhatikan dalam penyediaan air yang berkualitas adalah sebagai
berikut.
4.3.1. Air masuk/air pasok
Hal-hal penting yang harus diperhatikan tentang air masuk adalah :
a. Pilih lokasi pengambilan air.
b. Tentukan waktu pengambilan.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Air yang diambil memenuhi syarat mutu dan jumlah (kualitas &
kuantitas).
Untuk syarat kaulitas air dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran kualitas air pasok yang ideal untuk budidaya udang
Parameter Kisaran
Salinitas
pH
Alkalinitas
Nitrit
Nitrat
Amonia
Suspensi terlarut (TSS)
10 – 35 ppt
7,5 – 8,5
90 – 150 ppm CaCO3
< 0,1 ppm
< 1,0 ppm
< 0,1 ppm
< 80 ppm
Selain persyaratan kimiawi dan fisik tersebut, air yang akan digunakan
untuk budidaya udang harus bersih dari bahan polutan, (seperti dari jenis
logam, pestisida dan bahan kimia beracun lainnya), serta air sumber tidak
keruh.
4.3.2. Pengendapan
a. Memberikan tenggang waktu tertentu sesuai dengan jumlah dan
mutu air mentah.
b. Membuat rancangan atau desain untuk memperbesar peluang
proses pengendapan.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Kadar partikel (TSS) dalam air turun hingga kurang dari 60 ppm.
􀂃 Air tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memasok kebutuhan
tambak.
4.3.3. Pemberantasan hama dan atau sterilisasi air
Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan pada tahap ini adalah:
a. Menyaring air yang masuk menggunakan kasa kelambu pada mulut
pipa pemasukan. Kasa kelambu harus dijahit rangkap dan
diperkuat dengan papan penyangga (Splashing board) atau kotak
penyangga (holding box).
b. Air baru dimasukkan ke dalam petak treatment. Atau air dapat
disaring dengan kantung saringan halus (Plankton net/kasa sablon
ukuran 160 mikron) dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m.
c. Menggunakan bahan krustasida yang memiliki daya reaksi yang
kuat, dan cepat netral, contoh: Trichlorfon (a.l Dyvon 1 ppm dan
Dipterex 2 ppm) atau Dichlorfon (a.l. Saprovon dengan dosis 0.8 –
1 ppm). Untuk menetralkan dari pengaruh bahan-bahan tersebut
diperlukan 5 – 7 hari.
d. Menggunakan bahan disinfektan Calsium hypochloride (kaporit), 15
- 30 ppm, pada wilayah dengan tingkat wabah penyakit yang
tinggi. Untuk menetralkan dari pengaruh bahan tersebut diperlukan
1 – 3 hari.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 Bau khas desinfektan pada saat perlakuan.
􀂃 Populasi bakteri dan hama moluska menurun.
􀂃 Virion (partikel virus DNA-RNA) negatif.
􀂃 Pada akhir proses penetralan sudah tidak tercium bau khas
desinfektan.
4.3.4. Pengendalian penyakit dan hama melalui penanganan suatu
kawasan.
Petambak udang idealnya merupakan anggota sebuah kelompok tambak
dalam sebuah kawasan yang memiliki salah satu atau beberapa persyaratan
berikut :
a. memiliki persamaan sistem permodalan.
b. memiliki persamaan sistem teknologi (semuanya sederhana, semi
atau intensif).
c. memiliki persamaan musim tebar.
d. memiliki persamaan jenis udang yang dipelihara.
e. dan yang terbaik, bersama dalam suatu wilayah pengairan.
Persamaan kepentingan dalam suatu wilayah akan berpengaruh erat pada
kemudahan pengendalian penyakit.
Penyakit virus yang mematikan udang windu dapat dengan mudah
menular dari sebuah tambak ketambak lain yang bersisian, berbatasan pematang
dan atau memiliki saluran pembuangan atau pemasukan yang sama. Dalam
banyak kasus, tambak udang yang sehat akan mengalami kematian massal oleh
penyakit yang sama hanya dua atau tiga hari setelah sebuah tambak dipanen
prematur akibat serangan penyakit.
Pembentukan sebuah zonasi yang dikelilingan oleh saluran/tambak pinggir
yang berisi ikan ikanan (mujair/bandeng/kakap atau campuran) akan melindungi
tambak udang tertular dari saluran yang menerima limbah tambak berpenyakit.
Saluran ikan akan secara fisik dan biologis menjaga intrusi partikel virus secara
langsung pada tambak udang yang sehat sehingga akan terhindar dari rangkaian
kematian yang tidak diinginkan.
Secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah. Sebuah
kawasan pertambakan dibagi dua kelompok dan masing masing kelompok
dikelilingi oleh saluran sekunder yang sengaja diisi ikan dalam jumlah yang
cukup padat dan bernilai ekonomis.
Gambar 9. Contoh kawasan pertambakan udang
4.3.5. Pengapuran air awal
Diberikan kapur dari jenis Ca (CO3)2 dengan dosis yang sesuai nilai pH
dan alkalinitas air.
Tolok Ukur Pekerjaan :
ô€‚ƒ Alkalinitas air dengan kisaran nilai 100 – 150 ppm (diawal penebaran).
ô€‚ƒ Kisaran pH harian berkisar antara 7,5 – 8,3.
􀂃 Fluktuasi pH harian kurang dari 0,5.
4.3.6. Pemupukan & inokulasi plankton
a. Pemberian pupuk sesuai kebutuhan spesifik lokasi.
b. Pemupukan hendaknya dilakukan secepat mungkin setelah desinfektan
netral.
c. Pemupukan standar adalah 3 – 5 ppm dengan rasio N : P = 2:1, atau
tergantung kandungan N dan P, serta mikronutrien di tambak.
Saluran Alam
Saluran Ikan
d. Pemupukan susulan dilakukan 2 ppm dengan rasio yang sama.
e. Inokulan dapat diberikan satu hari setelah pemupukan, berupa biomas
fitoplankton dengan target kepadatan awal 8.000 – 10.000 sel/ml,
pada pukul 09.00 sampai 13.00 atau kecerahan 40 – 50 cm.
f. Jenis inokulan adalah Chlorella murni, Skeletonema murni atau
campuran keduanya.
g. Alternatif yang lain adalah : Nanochloropsis, Chaetoceros, Tetraselmis
dan Dunaliella.
Teknik Alternatif :
a. Aplkasi krustasida misalnya Dyvon atau Saprovon 1 ppm dan piscicida
(saponin 15 ppm) pada sebuah petak/saluran yang dibendung.
b. Selanjutnya pada hari ketiga dipupuk anorganik dengan dosis 5 ppm.
c. Setelah krustasida netral (5 – 6 hari), plankton di tandon/saluran ini
akan tumbuh pekat dan dapat dipakai sebagai inokulant (bibit) di
petak pembesaran dan petak penampungan air siap pakai.
d. Setelah inokulasi, kincir dihidupkan.
Tolok Ukur Pekerjaan
􀂃 kecerahan pada hari kedua mencapai kurang dari 70 cm dan
cenderung menurun pada hari berikutnya.
􀂃 Ada perubahan warna dari jernih menjadi hijau, coklat atau hijau
kecoklatan.
􀂃 Kondisi tersebut konstan selama lebih dari 3 hari.
Alternatif Solusi :
a. Menggunakan saponin 15 ppm dan dedak halus 5 ppm yang telah
difermentasi, air fermentasi diisi dan dipakai kembali hingga 3 hari.
b. Menggunakan pupuk organik (kotoran ayam) dengan dosis 300 kg/ha
setelah melalui proses fermentasi probitik (menggunakan hasil
fermentasi).
c. Atau menggunakan keduanya (a dan b) digabungkan.
4.3.7. Sistem biofiltrasi
Biofiltrasi adalah sistem penyaringan air dengan menggunakan jasad
hidup baik berupa hewani maupun nabati, sehingga air menjadi relatif bersih dari
organisme yang tidak dikehendaki dan bersih dari unsur-unsur yang beracun
bagi kultivan (udang). Sistem biofiltrasi ini dilakukan dengan cara :
a. Memelihara jenis-jenis ikan predator, sebagai bioscreening, (contoh:
keting, kerong-kerong, kakap, payus, wering, petek dsb) di dalam
petak treatment.
b. Memanfaatkan tanaman bakau (biofilter) sebagai penyerap residu
logam berat dan pestisida (inlet & outlet) atau petak UPL.
c. Memanfaatkan rumput laut sebagai penyerap nutrient dan sumber
vitamin alami (inlet & outlet) awal, seluas 20 % wilayah tandon.
Tolok Ukur Pekerjaan :
􀂃 Air bebas hama penular (carier).
􀂃 Populasi hama penular tidak melimpah didalam tambak.
􀂃 Kandungan logam berat, seperti Pb kurang dari 1,16 ppm, Hg kurang
dari 0,17 ppm, Cu kurang dari 0,006 ppm dan Cd kurang dari 0,33
ppm.
4.3.8. Biosecurity (keamanan dari kontaminasi)
Konsep biosecurity biasanya diterapkan pada instalasi karantina atau
instalasi produksi pemurnian kultur jaringan. Dewasa ini, aturan internasional
menerapkan konsep ini di dalam proses produksi udang/ikan. Hal-hal yang
diterapkan (Gambar 10) antara lain :
a. Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan
masuk ke dalam unit tambak (fencing).
b. Air pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan
kantung plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m
sebanyak 3 – 5 buah di atur paralel agar tidak mudah robek.
c. Saluran keliling dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak
adanya organisme lain yang masuk atau keluar.
d. Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang
tambak lain harus melalui dua kolam : kolam pembersihan dan kolam
disinfeksi untuk menghindari adanya kontaminasi.
e. Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu
diberi disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di
salah satu tambak.
Gambar 10. Sistem biosecurity pada budidaya udang intensif
4.3.9. Keamanan bagi konsumen
Udang merupakan komoditas ekspor dengan negara negara maju (jepang,
EU, dan Amerika Utara sebagai konsumen). Posisi negara maju sebagai importir
akan tetap bertahan karena mereka berada di wilayah sub tropis yang tidak
memungkinkan untuk membudidayakan udang penaeid yang secara komersil.
Keharusan sebuah negara untuk melindungi dan membiayai kesehatan
masyarakatnya menyebabkan perhatian pada kualitas makananan yang diimpor
negara ini akan menjadi tinggi. Udang yang diekspor ke luar negeri tidak boleh
mengandung zat berbahaya seperti hormon, penyakit manusia, antibiotika,
logam berat, karsinogenik serta senyawa beracun dan akumulatif.
Ditolaknya udang beku Indonesia oleh EU dengan alasan terdeteksinya
residu antibiotika telah terjadi sejak tahun 2000 hingga 2007. Peningkatan
permintaan udang asal Indonesia yang tidak terkena isu anti dumping ternyata
tidak bisa dipenuhi negara ini karena banyaknya kendala kualitas seperti ini
selain penurunan produksi akibat serangan penyakit berjenis jenis virus.
Antibiotika berdasarkan hasil analisis BBPBAP Jepara sejak tahun 2002
terbukti berasal dari kandungan bahan ini dalam pakan komersil yang dipakai
para petambak tanpa mereka sadari. Hingga awal Tahun 2007 penanggung
resiko ditemukannya residu antibiotika adalah pihak cold storage namun sejak
diterapkannya pengwasan yang lebih ketat, residu antibiotika akan mulai bisa
terdeteksi dari pabrik pakan dan petambak pengguna pakan tersebut sehingga
cold storage dapat menolak produk mereka.
Produk udang hasil tambak seringkali dipanen segar dan diekspor dalam
kondisi beku untuk mempertahankan rasa dan warnanya. Petambak Indonesia
masih belum terbiasa pada sistem sanitasi domestik dalam arti mencegah
kontaminasi asal manusia pada media dan udang yang dipelihatra.
Pertambakan harus memiliki WC yang berjarak jauh dari sistim produksi dan
dilengkapi dengan sabun cuci tangan antiseptik. Seluruh WC harus memiliki
septik tank kedap agar bakteri E coli tidak dapat terdeteksi di sungai, air tambak
dan udang yang dipelihara manusia. Bakteri E coli sendiri tidak terlalu
berbahaya pada kesehatan manusia namun adanya E coli menunjukkan adanya
peluang jenis penyakit manusia lain juga hadir. Penyakit menular yang
dikhawatirkan dapat ditemukan di udang beku bersama pencemaran e coli
adalah jenis penyakit diare (Amoeba, virus Eltor) dan penyakit virus hepatitis,
campak dan polio.
Dimasa mendatang kondisi pencemaran mikrobiologis manusia dan udang
akan berkurang dengan meningkatnya permintaan impor udang matang (direbus
15 detik) langsung dibekukan. Namun bila sanitasi lingkungan belum terbiasa
dilakukan, resiko pencemaran dan ditolaknya produk Indonesia akan tetap
terjadi dan berdampak buruk pada produktivitas dan harga jual udang ditingkat
petambak.
V. PEMILIHAN, TRANSPORTASI DAN PENEBARAN BENIH
Keberhasilan dalam kegiatan budidaya tambak tidak terlepas dari kualitas
benih yang ditebar. Tersedianya benih udang tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu, tepat mutu dan tepat harga tidak hanya mampu menghasilkan produksi
maksimal tetapi juga akan menjamin kontinyuitas produksi di tambak. Namun
demikian, benih merupakan masalah utama di Indonesia karena masih sedikit
panti pembenihan (hatchery) yang mau menerapkan sistem yang terkontrol
terhadap kemungkinan adanya kontaminasi atau terjadinya infeksi virus yang
berbahaya (misal : WSSV). Sebagai petambak, benih harus dipilih dengan
cermat bahkan harus melewati beberapa tahapan pengujian.
Mengingat arti pentingnya benur, maka langkah awal pemilihan benur
untuk memperoleh kualitas yang prima akan menentukan keberhasilan kegiatan
budidaya di tambak. Penebaran dengan benur yang berkualitas prima berarti
salah satu langkah penting sudah terlaksana dengan baik. Kualitas benur
terutama dari panti pembenihan sangat bergantung oleh manajemen atau
penanganan pada saat pemeliharaan larva sampai menjadi post larva yang siap
dijual kepada para petani, demikian pula termasuk bagaimana penanganan saat
panen, cara pengangkutan dan lama waktu pengangkutan benur tersebut
sampai ke lokasi tambak. Bagaimana prosedur pemilihan benih yang memenuhi
standar, maka dapat dilihat pada uraian berikut ini.
5.1. Pemilihan benih
5.1.1. Penentuan panti pembenihan udang
a. Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan melaksanakan
uji PCR terhadap induk udang windu yang dipakai dan benih yang
akan dijual.
b. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang
bersifat karier penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting,
rajungan, dan udang mentah, serta bebas antibiotik yang berbahaya.
c. Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.
d. Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian benih yang
dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.
e. Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang windu.
51.2. Pemilihan benih
Benih yang layak tebar telah mencapai ukuran PL12
a. Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai PL8 - PL12.
b. Benih abnormal secara visual kurang 1 % dari populasi.
c. Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :
􀂃 100 ekor PL direndam dalam air tawar.
􀂃 15 menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air semula.
􀂃 amati hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.
􀂃 bila lebih dari 20 % populasi udang mati, pilih benih dari bak lain.
e. Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas selanjutnya diuji
dengan perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehide
(p.a) 200 ppm dengan cara :
􀂃 Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam
ember/toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.
􀂃 Setelah 30 menit, air diputar dan hitung udang yang stress dan
mati.
􀂃 Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.
5.1.3. Persyaratan kualitatif benih yang dapat dilihat dan diuji
a. Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman,
punggung tidak berwarna keputihan atau kemerahan.
b. Gerakan : gerakan berenang aktip, menentang atau menyongsong
arus, cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).
c. Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat
setelah mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap,
maxilla, mandibulla, antenulla dan ekor membuka, hepato pancreas
transparan, usus penuh dan gelap.
d. Responsif terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh
dengan adanya kejutan atau jika wadah sampel benur diketuk, dan
akan berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan
cahaya, serta responsip terhadap pakan yang diberikan (Gambar
11).
5.1.4. Persyaratan kuantitatif
Persyaratan kuantitatif benur udang windu (Penaeus monodon
Fabricius) kelas benih sebar (PL15) seperti pada Tabel 3 berikut :
Gambar 11. Kegiatan pemanenan benih udang.
Tabel 3. Kriteria kuantitatif benur udang windu
No Kriteria Kuantitatif Nilai
1 Umur dari telur (hari) 20 –22
2 Panjang (mm) 10.5 - 11.0
3 Berat (mg) 2.24 - 2.44
4 Kesehatan/bebas penyakit (%) > 70
5 Keseragaman populasi (%) > 80
6 Daya tahan (%) terhadap:
• penurunan salinitas 30 ô€ƒ†0 ppt
• perendaman formalin 200 ppm
> 80
> 90
7 Rangsangan terhadap cahaya dan aerasi Positif
5.1.5. Panen dan pengemasan.
a. Benih yang telah terpilih dipastikan telah mendapat tambahan
artemia 4 jam sebelum panen dilakukan.
b. Benih diberi pakan pada saat air diturunkan.
c. Dasar bak dipastikan telah disifon sebelum benih dipanen.
d. Pemanenan harus dilakukan tidak pada saat benih akan/saat molting
(catat jam molting sebelumnya).
e. Benih ditampung pada wadah yang berisi air dengan salinitas, pH dan
suhu yang sama dengan air di bak, atau melalui pencampuran air steril
baru 1 : 1.
5.2. Transportasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam transportasi benih adalah
sebagai berikut (Tabel 4) :
Tabel 4. Perhitungan teknik transportasi PL udang windu yang
direkomendasikan
Jarak
tempuh
Air bak : Air
baru steril
Volume Air :
Oksigen
Kepadatan
(ekor/ liter)
Temperatur
<4 jam Air bak
pemeliharaan
60 : 40 1.500 Alami, sejuk
8 – 12 jam 1 : 1 50 : 50 1.000 22 – 24o C
12 – 20 jam Seluruhnya air
baru
50 : 50 750 – 1.000 22o C
Transportasi benih harus dilakukan dalam kondisi sejuk (sering dipilih
malam hari) atau dalam kendaraan yang berpenutup dan berventilasi baik.
5.3. Penebaran benih.
Benih yang akan ditebar harus memenuhi kriteria kondisi benih dan
kualitas air transportasi telah sesuai dengan air tambak, agar hasilnya lebih
memuaskan.
5.3.1. Kesiapan Tambak.
Tambak yang akan ditebari benih harus siap secara fisik, kimiawi dan
biologis diantaranya :
a. Harus dipastikan air telah netral dari pengaruh krustasida (Dyvon,
Dipterex atau Saprovon) kurang lebih telah mencapai hari ke 6.
b. Bebas atau minim dari residu klorin terlarut (maksimum 0.5 ppm klorin
bebas).
c. Harus memiliki oksigen terlarut minimum 4 ppm, selisih salinitas air di
panti pembenihan dan air di tambak kurang dari 5 permil, tidak terjadi
stratifikasi/perlapisan salinitas dan suhu. Stratifikasi air bisa dicegah
dengan mengoperasikan aerator dalam jumlah optimum.
d. Sedapat mungkin telah memiliki populasi fitoplankton yang cukup
(kecerahan 40 – 50 cm).
e. Untuk menghindari pertumbuhan Dinoflagellata air yang telah
dipersiapkan di ukur rasio N : P. Bila rasio N : P = 15 : 1 (terlalu
tinggi) maka harus dipupuk dengan pupuk fosfat (P2O5 ) agar rasio
kurang dari 10 : 1. pada tingkat P total (eq orthofosfat) minimal 0.1
ppm.
f. Tidak ada ikan penyaing dan pemangsa (misal melalui aplikasi saponin
3 hari sebelum penebaran; dengan dosis 15 ppm).
g. Siapkan salah satu sudut yang diberi penyekat bambu agar wadah
benur mengumpul, atau melalui hapa transisi untuk penebaran.
5.3.2. Persiapan adaptasi benih di tambak.
Pada saat benih sampai ditambak tempat penebaran, beberapa plastik
pembungkus benih harus diambil untuk diperiksa kondisinya :
a. Benih pada saat dibuka dari plastik masih menunjukkan aktivitas yang
normal.
b. Pada transportasi dingin (jarak jauh) benih pada saat baru dibuka
biasanya masih tidak aktif.
c. Pilih plastik-plastik yang bocor dan atau berair keruh karena benih
yang berada di dalamnya hampir selalu lemah dan sebaiknya tidak
usah ditebar (kecuali masih bergerak normal).
d. Adaptasikan suhu, salinitas dan pH air transportasi dengan air tambak
dengan cara mengapungkan plastik (adaptasi suhu) dan
mencampurkan sebagian air tambak ke dalam plastik-plastik sedikit
demi sedikit yang telah dibuka (adaptasi salinitas dan pH air) (Gambar
12).
e. Hindari menjemur plastik tertutup lebih dari 30 menit walaupun
plastik terletak di dalam air karena temperatur dalam plastik akan
meningkat drastis dan membunuh benih yang belum ditebar.
f. Hitung tenaga penebar benih karena dalam 30 menit seseorang hanya
mampu mengadaptasikan 8 - 12 kantung plastik dengan hati-hati.
Gambar 12. Penebaran benih dilakukan dengan menempatkan kantong di pojok
tambak dan ditahan dengan bambu untuk menahan agar tidak
terbawa arus (kiri). Penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari
untuk menghindari stress (kanan).
VI. MANAJEMEN AIR DAN LUMPUR.
Pengelolaan air dan lumpur dasar tambak pada prinsipnya adalah usaha
untuk mempertahankan kualitas lingkungan tambak, meliputi air dan lumpur
dasar pada kisaran nilai parameter yang layak serta menekan terjadinya fluktusi
lingkungan yang tinggi. Dengan demikian kehidupan dan pertumbuhan udang
yang dipelihara dapat tumbuh maksimal dengan energi dan input nutrisi yang
minimal.
Udang yang dipelihara dalam tambak akan melepaskan sisa hasil
metabolismenya ke kolom air, dan sisa pakan yang tidak termakan akan
mencemari tambak. Seluruh bahan organik tersebut akan menimbulkan polusi
yang ditandai dengan terjadinya stress, pertumbuhan yang lambat, kehilangan
nafsu makan, serangan penyakit dan bahkan kematian sebagian atau massal.
Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan teknik manajemen air dan lumpur
dasar tambak.
6.1. Pengisian air.
Pengisian air pada tambak udang intensif ramah lingkungan pada masa
pemeliharaan, baik air baru maupun air dalam proses resirkulasi harus melalui
petak biofilter. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora
berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi
virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan
plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau
tumbuhan air yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan
organik.
6.2. Penggantian air.
Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas
air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air menjadi jernih
dan terdapat suspensi dalam air akibat kematian plankton (Tabel 5). Perubahan
ini juga ditandai banyaknya buih relatif besar (lebih dari 2 cm) dan tidak pecah
pada jarak 6 m dari kincir. Sedangkan indikasi kimiawi terlihat dari kandungan
bahan organik yang tinggi (lebih dari 60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm.
Tanda-tanda penurunan kualitas air terlihat dari :
a. Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco > 20 % dari normal).
b. Populasi total bakteri > 10 6 CFU/ ml.
c. Populasi Total Vibrio > 10 3 CFU/ ml.
d. Ekor udang banyak yang berwarna merah (red discoloration).
e. Banyak partikel plankton mati di kolom air.
Proses pergantian air dilakukan dengan cermat sehingga tidak terjadi
perubahan kualitas air secara mendadak atau dratis terutama perubahan
salinitas. Hal ini untuk mengurangi stress pada udang. Perubahan salinitas air
tambak akibat pergantian air tidak boleh melebihi 3 ppt per hari. Untuk
menghindari perubahan salinitas yang drastis pada saat terjadi hujan dengan
cara menghidupkan kincir (untuk pengadukan).
Teknik pergantian air dengan cara membuang air yang banyak
mengandung kotoran atau lumpur organik terutama pada bagian dasar tambak.
Oleh karena itu desain pintu pembuangan dan konstruksi tambak dibuat agar
dapat membuang air bagian dasar atau lumpur dasar maupun air bagian atas.
Pembuangan kotoran atau lumpur dasar dapat juga dilakukan dengan
penyiponan. Penambahan air untuk mengganti air dalam petakan tambak sampai
pada ketinggian air yang ditentukan menggunakan air dari petak biofilter.
Jumlah pemutaran/pergantian air dari tandon ikan ke petak pembesaran
udang dengan kepadatan 30 – 50 ekor/m2, diatur sebagai berikut :
Bulan 1 : 5 - 10%, setiap 15 hari.
Bulan 2 : 5 – 10 % setiap 7 – 10 hari.
Bulan 3 : 10 – 15% setiap 7 hari.
Bulan 4 : 15 - 30 % setiap 3 – 5 hari.
Gambar 13. Air buangan dari hasil budidaya udang intensif
Tabel 5. Kriteria dan kategori kualitas air tambak secara fisik-kimiawi
Parameter kualitas air Saat
Penebaran
Air di petak
ikan/
reservoir
Pertengahan dan
akhir
pemeliharaan
Air pembuangan
Suhu (oC) 26 – 29 27 – 32 27 – 32 27 – 32
DO minimum (ppm) 4 > 3.5 4.5 3
BOD (ppm O2) < 0.2 < 10
pH 7.8 - 8.5 7.8 – 8.5 7.8 - 8.4 7 – 9
Alkalinitas (ppm) 90 150 90 - 150 90 – 150 100 - 150
Transparansi (cm) 40 – 50 30 - 50 30 - 40 30 – 40
Suspensi terlarut (ppm) <30 < 20 < 40 < 30
Salinitas (ppt) 10 - 35 10 – 35 10 - 35 10 – 35
Ammonia (ppm) < 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrat (ppm) <0,5 <0,3 <0.4 <0,5
Nitrit (ppm) < 0,1 <0,1 < 0,1 < 0,1
Phosphat (P2O5) (ppm) <0,25 0,30 0,35 0,25
Total Vibrio (CFU/ ml) 102 103 – 10 4 103 – 10 4 < 104
Logam berat
1. Hg (ppm)
2. Pb (ppm)
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
<0,17 ppm
<1,16 ppm
6.3. Mananajemen kualitas air.
6.3.1. Suhu air.
Suhu air tambak tergantung cuaca dan berpengaruh langsung terhadap
nafsu makan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun suhu mencapai 34o C
pada siang hari, udang hidup dan tumbuh normal. Hasil pengamatan laju
komsumsi pakan, pada suhu 26o C nafsu makan turun hingga 50 %.
Suhu dalam air terutama pada bagian dasar tambak juga di pengaruhi
oleh kepadatan partikel yang dapat di ukur tingkat kecerahan dengan sechi disk.
Kepadatan pertikel dalam air termasuk plankton akan menghalangi penetrasi
cahaya masuk dalam air sehingga suhu air di dasar lebih rendah daripada di
permukaan.
6.3.2. Salinitas.
Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran udang di pertahankan
tidak lebih dari 3 ppt untuk mennghindari stres pada udang. Oleh karena itu
fungsi tandon sebagai persediaan air dapat digunakan untuk menekan
fluktuasi salinitas yang tinggi. Sebelum melakukan pergantian atau penambahan
air, dilakukan pengontrolan salinitas antara petak pembesaran udang dan petak
biofilter sehingga perlakukan pergantian atau penambagan air tidak merubah
salinitas melebihi 3 ppt.
6.3.3. pH air.
Pengukuran pH air terutama pada air bagian dasar dilakukan pada pagi
jam 05.00 (sebelum matahari terbit) dan sore hari sekitar jam 16.00. Nilai pH air
yang optimal adalah 7,8 – 8,2 dengan kisaran fluktuasi pH pagi dan sore adalah
0,2-0,5. Oleh karena itu bila pH turun hingga mendekati 7,0 dilakukan
pengapuran dengan kapur Ca (CO3)2 atau dolomite dosis 3 - 5 ppm. Sebaliknya
bila pH naik mendekati 8,8 segera dilakukan pemberian molase (tetes tebu)
dosis 3 ppm. Cara ini dilakukan tiap 3 hari sekali hingga nilai kisaran pH normal.
Nilai fluktuasi pH yang tinggi, yaitu lebih dari 0,5, menunjukan bahwa karbonat
dalam air sebagai penyangga (buffer) kurang. Karbonat dapat diukur dari
alkalinitas. Biasanya apabila nilai alkalinitas kurang dari 90 ppm, akan
mengakibatkan fluktuasi pH harian tinggi, sehingga perlu penambahan kapur
untuk meningkatkan carbonat. Sebaliknya bila fluktuasi kurang dari 0,2 atau
bahkan sore hari sama dengan pagi hari, menunjukkan fotosintesis tidak berjalan
dengan normal, sehingga perlu aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen
terlarut.
6.3.4. Alkalinitas.
Alkalinitas dipertahankan pada nilai 90 - 150 ppm. Alkalinitas yang rendah
atau kurang 90 ppm harus dilakukan pengapuran sehingga alkalinitas mencapai
angka sesuai dengan kisaran. Jenis kapur yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi pH air sehingga pengaruh pengapuran tidak membuat pH air tinggi. Jenis
kapur disesuaikan dengan keperluan dan fungsinya, segai contoh kapur
hidroksida Ca(OH)2 diaplikasikan untuk menaikan alkalinitas sekaligus menaikan
pH air. Bila pH air sudah tinggi, maka untuk menaikan alkalinitas digunakan jenis
kapur carbonat (CaCO3) atau kaptan (Tabel 6).
Tabel 6. Jenis kapur dan penggunaan
No Jenis kapur Fungsi
1 Kapur gamping (CaO) Menaikan pH dan suhu
2. Kapur Tohor /hidroksida
Ca(OH)2
Menaikan pH
3 Kapur dolomit atau kaptan
(CaMg(CO3)2
Menaikan karbonat dan sedikit pH, dan
sebagai pupuk
4 Kapur karbonat (CaCO)3 Menaikan karbonat dan sedikit pH
6.3.5. Kecerahan.
Nilai kecerahan diukur dengan sechi disk, sebagai tolok ukur kepadatan
partikel termasuk plankton dalam air. Perbedaan kecerahan karena plankton
dengan partikel terlarut adalah dengan mengamati air dalam gelas atau botol
plastik. Kekeruhan akibat partikel atau suspensi terlarut ditandai akan terjadi
pengendapan setelah air didiamkan dalam botol atau gelas. Sedangkan
kekeruhan akibat plankton ditandai air tidak banyak berubah atau tidak terjadi
pengendapan.
Fitoplankton akan tumbuh apabila unsur hara (pupuk) tersedia di air.
Penumbuhan fitoplankton juga bertujuan untuk menghindari pertumbuhan
klekap, lumut dan makro algae lainnya. Pada awal masa pemeliharaan
fitoplankton tidak stabil, karena adanya keterbatasan unsur hara yang
diperlukan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemupukan berimbang, fermentasi
bekatul dengan probiotik dan penambahan inokulan fitoplankton.
Kecerahan plankton dipertahankan pada kisaran 30 - 40 cm. Kecerahan
diamati setiap hari sekitar jam 09.00 dan di data sehingga dapat diketahui
kecenderungan kepadatan plankton harian. Bila kecarahan meningkat hingga
lebih dari 40 cm, perlu dilakukan pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan
plankton. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk anorganik, yaitu Urea dan
TSP dengan perbandingan 1:1, dengan dosis 3 - 5 ppm dan pupuk mikro nutrien.
Pemupukan susulan dilakukan setiap 5 - 7 hari hingga plankton stabil. Unsur
pospat (P2O5) sangat menentukan pertumbuhan plankton. Kandungan optimal
pospat minimal 0,25 ppm.
Kepadatan plankton dan partikel terlarut dalam air berpengaruh terhadap
kandungan oksigen terlarut. Pada saat kecerahan rendah akan menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga plankton di bagian bawah tidak dapat
melakukan fotosintesa, sehinga kandungan oksigen di dasar rendah.
6.3.6. Ciri-ciri fitoplankton dan potensinya.
a. Warna hijau gelap (Cincau).
Merupakan indikasi air didominasi jenis algae hijau dari jenis Chlorella spp
kadang-kadang juga ditemukan Platymonas, Carteria dan Chlamidomonas.
Pada tambak dengan salinitas rendah, Scenedesmus dan Euglena lebih
dominan. Warna hijau muda ini merupakan warna favorit karena stabil.
Kecerahan air yang disebabkan oleh fitoplankton dipertahankan pada level 30 –
40 cm. Bila kecerahan lebih dari 40 cm atau kurang dari 30 cm akan
mengakibatkan kualitas lingkungan tidak stabil.
b. Warna hijau biru.
Warna ini merupakan warna yang mencirikan predominansi alage hijau
biru dengan meningkatnya suhu air rata-rata dan kelarutan bahan organik di air.
Kasus-kasus penyakit cangkang lunak, udang biru dan pertumbuhan lambat
mulai sering terjadi pada air berkondisi demikian. Jenis-jenis yang umumnya
ditemukan hingga 90 % populasi adalah dari genus Oscillatoria, Phormidum dan
Microccoleus. Pada air dengan warna ini sering juga dirtemukan Lyngbya,
Chroococcus, Spirulina, Anabaena dan Synochecytis.
c. Warna hijau kuning.
Warna ini ditimbulkan oleh algae flagellata kuning keemasan dari genus
Chlamidomonas, Hymenomonas, Rhodomonas, Chilomonas dan Pavlova serta
bercampur dengan flagellata hijau sepeti Dunaliella dan Carteria. Jenis flagellata
kuning dipicu pertumbuhannya oleh bahan organik anaerobik di tanah sehingga
warna ini dapat menimbulkan hambatan pertumbuhan bahkan kematian udang.
Pergantian air sangat dianjurkan dan harus diimbangi dengan penambahan
jumlah dan opersioanal kincir air.
d. Warna coklat tua.
Warna air tambak yang coklat tua ini adalah warna yang paling tidak
disukai operator tambak karena mengandung Dinoflagellata (Brown Algae).
Kondisi ini sering ditemui pada tambak yang telah mencapai masa akhir
menjelang panen dengan dasar tambak yang telah banyak mengandung bahan
organik dan kesulitan mengganti air. Air di tandon yang terlalu lama, jernih dan
tidak ada ikannya juga akan didominasi Dinoflagellata. Jenis-jenis plankton yang
tergolong dinoflagellata adalah litochdiscus, Prococentrum, Peridinium, Ceratium,
Gymnodinium, Gonyaulax, Noctiluca dan kadang kadang ditemukan Chilomonas,
Euglena dan PLatymonas.
Masalah kesehatan sering timbul dengan air yang berwarna coklat tua ini
diantaranya, insang merah, insang hitam dan insang bengkak. Beberapa jenis
dinoflagellata ini dapat menghasilkan racun casilaxin -PSP- (Paralytic Shellfish
Poisoning) atau racun glenodine yang toksik bagi ikan dan kerang.
Bila Dinoflagellata sulit diatasi maka udang yang dipelihara akan
menderita dengan beberapa ciri-ciri fisik :
1. Tubuh udang berwarna biru gelap.
2. Antena pendek dan melingkar.
3. Tutup insang melipat keluar.
4. Ruas-ruas tubuh cekung kurus.
5. Ekor melipat dan tubuh bergelombang.
e. Warna keruh keputihan.
Merupakan salah satu warna yang berbahaya karena menunjukkan
fitoplankton yang dikonsumsi zooplankton dan air dipenuhi populasi
zoopankton. Jenis-jenis yang sering ditemukan adalah :
1. Cilliata : Febria, Frontonia, Nassula dan Trachelocerca.
2. Rotifera : Lecane, Synchaeta dan Brachionus.
3. Copepoda : Acartia, Tenora dan Centropage.
4. Nauplius teritip (Barnacle).
Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan penggantian air
atau dengan menggunakan Protam (1,5 pentadial 50 EC) dengan dosis 1 ppm.
f. Warna coklat kekuningan.
Merupakan air yang didominasi oleh diatom dari genus Chaetoceros,
Nitzchia, Cyclotella, Synedra, Acanthes, Ampora dan Euglena. Warna ini biasanya
membuat panik pengelola tambak karena tidak dilihat di bawah mikroskop
sehingga cenderung berusaha mengganti air (hal yang tidak perlu). Hanya jenis
diatom Biddulphia yang berpotensi membuat udang stress bila populasinya
terlalu tinggi.
6.3.7. Pembuangan jenis pankton melalui pintu air.
Plankton negatif dan posistif yang ditemukan dalam air tambak dapat
dikendalikan populasinya dengan manajemen pembukaan pintu air (monik),
dengan mengenal karaketristik lapisan air yang disenangi masing masing
plankton seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Lapisan air yang dihuni berbagai jenis plankton dalam jangka waktu
berbeda
Lapisan air di Tambak Pagi pk 08.00 Sore pk 15.00 Malam pk 03.00
1. Permukaan
Cyanophyceae Ciliophora
Phytoflagellata
Annelida
Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
2. Tengah Air
Ciliophora
Phytoflagellata
Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
3. Dasar
Annelida (cacing) Dinoflagellata
Arthropoda
Rotifera
Cyanophyceae
Ciliophora
Phytoflagellata
Annelida
Keterangan:
Biota dengan huruf tebal merupakan jenis yang harus diperhatikan kemelimpahannya (tidak
boleh lebih dari 50 % ) melalui pengamatan pada sedwich rafter atau haemocytometer.
6.3.8. Penumbuhan plankton
a. Penumbuhan plankton dilakukan setelah air di petakan bebas dari kandungan
desinfektan. Pada dasarnya, fitoplankton akan tumbuh bila tersedia media,
nutrient dan inokulan. Penumbuhan/kultur plankton di tambak tidak lebih dari
pada menumbuhkan “native” species meski pada sistem budidaya yang
semakin berkembang penambahan inokulan dari luar sistem sudah mulai
dilakukan. Kebanyakan species plankton mudah tumbuh. Atmosfer
mengandung spora dan bagian vegetatif dari bermacam species. Beberapa
jenis burung juga dapat menjadi media penyebaran Fitoplankton. Spora
maupun bagian vegetatif dari fitoplankton dapat bertahan hidup di saluran
pencernaan dan dikeluarkan bersama faeces.
b. Dibanding dengan faktor pembatas lain, nutrient sepertinya mempunyai porsi
terbesar untuk suksesnya penumbuhan plankton. Kebutuhan nutrien untuk
pertumbuhan didapatkan dari sekitarnya, sehingga lingkungan harus
menyediakan sejumlah nutrien yang diperlukan. Kolam dengan input pakan
akan memperoleh tambahan nutrien baik dari sisa pakan maupun hasil
metabolisme dari pakan tersebut oleh ikan, udang atau hewan peliharaan
yang lain. Sementara kolam-kolam yang mengandalkan kelimpahan pakan
alami, nutrient tersedia dari berbagai proses alamiah yang terjadi di
ekosistem tersebut. Secara umum, C (Carbon), N (Nitrogen) serta P
(Phospor) adalah tiga jenis unsur utama yang secara signifikan banyak
berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton. Carbon diperoleh dari
diffusi gas CO2, sementara N dan P diperoleh dari bahan anorganik.
c. Apabila lingkungan tidak dapat menyediakan nutrient sesuai dengan jumlah
yang diperlukan, maka penambahan nutrient dari luar mutlak diperlukan
sehingga pemupukan adalah bagian yang tak terpisahkan pada tahapan –
tahapan penumbuhan plankton.
d. Jenis pupuk anorganik yang umum digunakan adalah Urea (46–0-0),
Ammonium phospat (16–20-0) atau superphospat (16–16-16) yang dapat
diaplikasikan pada masing-masing 5 – 10 ppm dan 2 – 4 ppm. Pupuk
anorganik harus direndam sebelum disebarkan. Jika diberikan dalam bentuk
padatan, dikhawatirkan sejumlah pupuk akan terakumulasi di satu tempat di
dasar kolam dan akan memicu tumbuhnya plankton dasar.
e. Pemberian inokulan untuk mempercepat tumbuhnya plankton dapat
dilakukan dengan menambahkan konsentrat Chlorella, sehingga kepadatan
awal di tambak 20.000 sel/ml. Konsentrat Chlorella didapat dengan
memflokulasikan kultur Chlorella dengan penambahan soda api. Inokulasi
konsentrat Chlorella dapat dilakukan satu hari setelah pemupukan dengan
cara menyebarkannya secara merata ke seluruh bagian petakan.
f. Proses tumbuhnya plankton memerlukan waktu beberapa hari sampai
dicapainya kondisi yang stabil. Idealnya dalam beberapa hari tersebut warna
air akan berubah menjadi lebih hijau atau coklat dengan kecerahan sekitar 40
– 50 cm. Pada perairan-perairan yang sangat miskin atau plankton yang ada
telah mati akibat chlorinasi, plankton mungkin tidak akan tumbuh dalam
beberapa hari. Atau juga bukan tidak mungkin plankton yang telah tumbuh
akan mati dengan tiba-tiba sehingga air akan kembali menjadi jernih. Pada
kasus seperti ini disarankan untuk menambahkan sejumlah “green water”
dari kolam lain. Harus dipastikan bahwa kolam donor berada pada kondisi
sehat
g. Apabila plankton tidak tumbuh dalam beberapa hari setelah pemupukan,
tidak disarankan untuk melakukan pemupukan ulang. Pemupukan ulang
pada kondisi air jernih malah akan memacu tumbuhnya klekap (benthic
algae). Penambahan dosis pupuk dapat dilakukan pada tambak-tambak
dengan type substrat dasar kandungan nutrien lebih rendah, misalnya pada
tanah yang banyak mengandung pasir. Penambahan pupuk yang disarankan
adalah 5 – 10 % dari dosis normal.
6.3.9. Manajemen fitoplankton.
a. Keberadaan fitoplankton tambak pada dasarnya sangat diperlukan.
Fitoplankton adalah bagian dari komunitas mikroba yang berperan dalam
mengatur kondisi kultur yang diinginkan. Selain dapat memanfaatkan sisa
nutrient, keberadaan fitoplankton juga mengurangi intensitas cahaya,
memproduksi oksigen, menstabilkan temperatur serta memberikan kontribusi
akan kebutuhan nutrient bagi organisme yang dipelihara. Pada tipe budidaya
yang semakin beragam, model pengelolaan fitoplankton harus disiasati
sehingga didapatkan kondisi ambient pada kepadatan tertentu yang
merupakan ukuran ideal. Perlu disadari juga bahwa kebanyakan problem
kualitas air adalah resultan dari beberapa faktor yang pada awalnya
merupakan efek dari keberadaan fitoplankton yang tidak terkelola dengan
baik.
b. Fitoplankton akan berada pada kondisi yang diinginkan bilamana dikelola dan
dicermati berbagai fluktuasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pertumbuhannya. Secara umum, plankton yang berwarna hijau atau hijau
kuning akan lebih mudah dipertahankan dari pada yang berwarna coklat.
Pada kolam–kolam dengan tingkat salinitas sangat rendah, jenis alga hijau
biru kemungkinan akan muncul. Jenis ini tidak begitu memberikan kontribusi
pada kandungan oksigen terlarut dan bahkan cenderung membahayakan
ikan/udang yang dipelihara.
c. Problem umum yang sering muncul pada awal-awal masa produksi adalah
kematian plankton akibat kekurangan nutrien atau CO2. Kondisi ini dapat
terjadi dengan tiba-tiba dan menyisakan sedikit plankton yang masih hidup.
Plankton yang mati akan menyebabkan munculnya busa dalam jumlah besar
di permukaan dan juga deposit material di dasar. Pada akhir masa
pemeliharaan, problem biasanya terkait dengan kepadatan yang berlebih.
Jika plankton terlalu padat dan air tidak diaerasi secara terus menerus
sebagian plankton akan mati karena tidak mendapatkan cahaya yang cukup.
Kematian juga sering terjadi karena perubahan kualitas air yang dramatis
seperti adanya hujan yang sangat lebat.
d. Untuk menjaga kondisi plankton yang stabil, perlu untuk menambahkan
sejumlah nutrien, CO2 dan cahaya. Nutrien dapat ditambahkan dalam bentuk
pupuk anorganik dengan dosis 3 – 5 ppm. CO2 dipasok dari atmosfir,
respirasi hewan piaraan, respirasi fitoplankton dan bakteri, alkalinitas serta
pengapuran. Penetrasi cahaya matahari dapat ditingkatkan dengan memutar
air dengan kincir atau mengurangi densitas dengan penggantian air.
e. Penggantian air adalah cara paling mudah untuk menurunkan kepadatan
plankton pada kolam-kolam yang dikelola dengan sistem tertutup. Pada
kolam yang menggunakan sistem tertutup, penggunaan bahan kimia lebih
sering dilakukan untuk mengontrol kepadatan. Harus diwaspadai jenis, dosis
serta efek dari bahan kimia tersebut apabila diaplikasikan. Pada umumnya
jenis yang digunakan adalah BKC (Benzal Konium Chloride) pada dosis 0.1 –
0.5 ppm serta formalin pada dosis 10 – 20 ppm.
6.3.10. Oksigen terlarut.
Kandungan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air utama pada
pembesaran udang di tambak. Kebiasaan udang windu adalah mempunyai
aktivitas pada dasar perairan. Oksigen terlarut terutama pada air dasar tambak
tidak kurang dari 4 ppm.
Fluktuasi kandungan oksigen terlarut sangat ditentukan kepadatan biota
yang ada dalam air terutama fitoplankton dan tanaman air lainnya yang
merupakan produsen primer. Untuk menjaga oksigen terlarut tetap pada kondisi
yang optimal adalah dengan memanfaatan proses fotosintesa, penggunaan
aerasi.
a. Pengaturan kincir air.
Kincir air diperlukan untuk :
• Suplai O2 di air
• Mengoksidasi permukaan dasar
• Membuat kotoran tersuspensi dan teroksidasi di kolom air
• Mengatur arus air dan menentukan penumpukan lumpur organik
• Menghilangkan pelapisan air oleh suhu dan salinitas dan menghomogenkan
kelarutan oksigen
b. Kebutuhan kincir dari biomassa udang.
Kincir air dipasang sesuai dengan kebutuhan minimal pada bulan pertama
pemeliharaan. Pada bulan kedua pemeliharaan, total kincir harus sudah
terpasang sesuai dengan target produksi berdasarkan data SR terakhir. Sebuah
tambak tidak memerlukan kincir hingga produksi biomassa udang mencapai 500
kg/Ha dengan pertumbuhan normal. Kincir dapat tidak dipasang pada biomassa
700 kg/ha dengan pertumbuhan lambat.
Untuk pertumbuhan tetap normal, kincir dipasang setelah biomassa > 500
kg/ha dengan perhitungan bahwa 1 kincir 1.5 HP dapat menunjang kehidupan
250 kg – 300 kg udang bila dasar tambak sudah tua atau tidak dapat
dibersihkan. Satu kincir dapat menunjang kehidupan hingga 400 kg bila dasar
dapat dibersihkan.
c. Kebutuhan kincir dari kejenuhan oksigen di air.
Berdasarkan kandungan oksigen terlarut, kincir di tambak dihidupkan
hanya ½ jumlah total pada bulan ke tiga hingga ke empat apabila tingkat
kejenuhan diatas 100 % jenuh. Kincir harus seluruhnya dihidupkan apabila
tingkat kejenuhan hanya mencapai 50 %.
Tingkat kejenuhan dihitung dengan mencocokkan kelarutan oksigen
terukur (DO), salinitas, temperatur dengan tabel kejenuhan. Angka yang terukur
dibagi angka seharusnya di Tabel dan dikalikan 100 % = tingkat kejenuhan di
air pada saat itu (%).
Arah kincir air harus dipasang sesuai dengan :
• Arah pengendapan antar masing masing kincir berjarak 12 - 15 m dan
• Arah pembuangan lumpur (pintu air) harus lebih besar dari 15 m
Kriteria pemasangan kincir yang benar
• Tidak ada pengendapan lumpur halus di dasar tambak lebih dari 10 cm
• Redox potensial tanah tidak mencapai – 250 mV
• 70 % wilayah tambak di dasar, memiliki DO minimum lebih dari 4 ppm
Keterangan : Posisi Pemasangan kincir dapat dilihat pada Bab Persiapan Tambak.
d. Penggunaan blower sebagai pemasok oksigen terlarut.
Dewasa ini telah tersedia berbagai jenis blower yang dapat dipergunakan
sebagai pemasok oksigen di tambak dengan hasil kelarutan oksigen yang lebih
efisien per satuan tenaga yang diperlukan sebagai penggerak mesin. Blower
untuk keperluan aerasi ditambak tersedia dalam tiga bentuk umum :
• Rotary Blower/Rootblower, merupakan blower dengan tenaga yang kuat
untuk tambak/ bak dengan kedalaman > 1 m dan untuk memompa untuk
jarak yang jauh serta titik yang banyak. Pada umumnya jenis ini dipakai di
pembenihan atau di unit pengolahan air minum namun sangat baik untuk
dipergunakan di tambak
• Vortex Blower, alat ini berprinsip putaran cepat akan menghasilkan volume
angin yang banyak, hanya kelemahannnya adalah suaranya yang bising dan
tekanan yang rendah < 60 cm dalam serta jarak tiup udaranya yang terbatas
• TurboJet, merupakan blower khusus tambak yang dapat digerakkan oleh
motor listrik maupun langsung dari penggerak diesel (dengan resiko
menghisap asap)
Pemasangan blower di tambak bisanya melalui pipa utama 2 inch dengan
cabang sekunder 1 inch dan pipa terakhir berukuran ¾ inch. Lubang aerasi
masing masing berjarak 3 m dan antar pipa terakhir berjarak 5 m. Lubang
aerasi adalah pipa yang dibor dengan mata bor berukuran terkecil dan
menghadap ke dasar tambak. Efektivitas blower akan slebih efektif bila di
kimbinasikan dengan kincir air untuk mengatur sedimentasi agar terkumpul di
titik tengah. Di Thailand blower dipasang di belakang kincir berangkai sehingga
udara yang dihasilkan didorong oleh kincir (Gambar 14).
Gambar 14. Pengaturan Blower
6.3.11. Bahan organik
Kondisi kualitas air tambak dapat diukur dengan parameter kandungan
total bahan organik (TOM) atau jumlah N-organik dalam air. Peningkatan
kandungan N-organik dalam disebabkan sisa pakan yang tidak dikomsumsi,
kotoran udang, kematian plankton atau tanaman air lainnya, dan bahan organik
yang masuk pada saat pergantian air. Kandungan bahan organik yang tinggi
lebih dari 60 ppm menunjukkan kualitas air yang menurun. Proses perombakan
bahan organik tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Kandungan total
bahan organik merupakan sumber terjadinya senyawa yang dapat meracuni
udang dalam proses anaerob atau reaksi reduksi.
Pengukuran bahan organik dilakukan setiap minggu baik pada petak
pembesaran udang maupun petak tandon. Bila kandungan air tambak mencapai
50 ppm maka perlu dilakukan penurunan yaitu dengan cara pergantian atau
penambahan air dari petak tandon. Cara ini dapat dilakukan kalau petak tandon
kandungan bahan organiknya lebih rendah.
Cara lain adalah dengan penebaran probiotik jenis Bacillus sp dan
Rodobacter sp secara rutin tiap 3 hari sekali dengan dosis 1 - 2 ppm untuk
mempercepat proses penguraian bahan organik. Perlakukan lain untuk
mencegah terjadinya proses tersebut dengan membuat kondisi aerob dengan
mempertahankan oksigen terlarut tetap tinggi yaitu lebih dari 4 ppm.
Penguraian bahan organik akan berlangsung dengan baik apabila
komposisi C/N rasio dalam bahan organik tersebut lebih dari 10. Oleh karena
perlu dilakukan penambahan sumber karbon (C-organik). Sumber C-organik yang
digunakan adalah bahan-bahan karbohidrat seperti tepung tapioka, terigu dll.
Aplikasi bahan-bahan karbohidrat diberikan 1 - 2 kali per minggu. Dosis
pemberian adalah 10% dari jumlah total protein (crude protein) dari pakan
komersial yang telah diberikan. Sebagai dampak dari perlakukan ini adalah
terjadinya penurunan bahan organik dan pertumbuhan plankton yang ditandai
warna hijau.
6.3.12. Lumpur dasar tambak
Nilai redok potensial lumpur dasar tambak menunjukkan kondisi tanah
yang dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan fenomena reaksi kimia
dan biologi dalam tambak. Dengan nilai redoks potensial yang negatif
menunjukkan terjadinya reaksi reduksi, yang dapat menghasilkan senyawa yang
bersifat racun terhadap udang seperti senyawa sulfida (H2S), Nitrit dan amonia.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan pengamatan lumpur dasar
selama pemeliharaan untuk menentukan perlakuan.
Kondisi lumpur dasar tambak selama pemeliharaan juga sangat ditentukan
oleh manajemen pakan tambahan. Pengelolaan pakan harus dilakukan dengan
baik. Hal ini mengingat biaya operasional untuk pakan dalam budidaya udang
sangat besar. Dampak penggunaan pakan yang tidak terkontrol juga akan
menyebabkan permasalahan memburuknya lingkungan tambak dan pada
akhirnya dapat menyebabkan munculnya penyakit dan kematian.
Pengukuran redok tanah dasar tambak dilakukan setiap 2 minggu sekali.
Apabila nilai redoks sudah mencapai -100 mV menunjukan adanya reaksi reduksi
yang diduga akan menghasilkan senyawa beracun nitrit dan sulfida pada pH
asam dan Amonia pada pH basa. Tindakan yang dapat dilakukan bila redok
potensial telah mencapai kurang -100 mV adalah dengan meningkatkan
kandungan oksigen terlarut pada dasar tambak. Peningkatan oksigen terlarut
dapat dilakukan dengan aerasi atau dengan pompa Cara lain adalah dengan
pengaturan pH air pada kisaran 7,8 - 8,5. Aplikasi bakteri pengurai secara rutin
dapat mempercepat penguraian bahan organik pada lumpur dasar.
6.4. Pembuangan air pada saat pemeliharaan dan panen
Air yang keluar dari petak pemeliharaan sedapat mungkin melalui central
drain atau pipa tengah agar lumpur organik dasar tambak sebagian besar dapat
terbuang. Air yang mengandung sedimen akan dialirkan dalam saluran
pembuangan yang memiliki lebar dan panjang tertentu yang dapat membuat
arus hanya berkecepatan 3 meter/menit sehingga suspensi sempat mengendap.
Untuk menghemat lahan pengendapan dapat dilakukan dengan membuat sekat
sekat 0.5 m di bawah air atau sekat zig-zag di saluran. Air dapat dialirkan
langsung ke dalam petak ikan setelah diberi aerasi 1 kincir atau blower 40 watt.
Air yang boleh dibuang dari petak pemeliharaan harus dikeluarkan melalui
pintu monik lapisan atas, namun bila hendak diendapkan terlebih dahulu, air
dapat dikeluarkan dari manapun. Kualitas air buangan yang memenuhi kriteria
Internasional dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Kriteria kualitas limbah tambak pada saat panen
Parameter Unit Batas Maksimum Batas Yad
pH
TSS
Total P
Total Ammonia
BOD 5 hari
DO pagi hari
-
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
6.0 - 9.5
< 100
< 0.5
< 5
< 50
> 4
6.0 – 9.0
< 50
< 0.3
< 3
< 30
> 5
6.5. Aplikasi probiotika
Probiotik pada umumnya didefinisikan sebagai bakteri tambahan
(inokulan) yang dipakai untuk melaksanakan suatu proses enzimatismikrobiologis
tertentu. Kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa organisme
yang melaksanakan tugas-tugas perubahan biologis juga dapat didefinisikan
sebagai biomanipulator. Beberapa organisme yang dapat dikatakan sebagai
biomanipulator adalah ikan herbivora (beronang/Siganus spp), ikan omnivora
(ikan mujair dan ikan bandeng), ikan plankton feeder (ikan nila dan ikan
belanak) dan ikan-ikan pemakan zooplankton dan udang kecil seperti wering/
seriding dan ikan keting.
6.5.1. Jenis probiotik
Berdasarkan jenis atau fungsinya probiotika juga dapat dikelompokkan ke
dalam :
a. Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
b. Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
c. Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam
tubuh udang
Probiotika secara ekonomis diperhitungkan sebagai input yang mahal,
kesalahan persiapan dan penaganan hanya akan menambah biaya tanpa hasil
apapun. Pemberian sebaiknya dilakukan setelah organisme probiotika
ditumbuhkan dengan maskimum sebelum dimasukkan ke air/dasar tambak.
6.5.2. Prosedur penumbuhan probiotika
a. Probiotika pengurai pupuk organik sebelum dimasukkan ke tambak
Diperlukan untuk menumbuhkan fitoplankton secara cepat dan stabil
miminum hingga 7 hari, komposisi pupuk dan probiotika yang diberikan adalah
sbb :
• Dedak sebagai sumber karbohidrat, selulosa dan silikat
• Gula/tetes tebu sebagai sumber CO2
• Protein tepung ikan/Urea/Pakan BS sebagai sumber nitrogen dan
karbon (C) sebagai penyusun protein sel probiotika
• Bakteri biakan (Baccillus atau Nitrobacter atau Nitrosomonas)
• Aerasi/ pengadukan agar proses berlangsung secara aerobik
b. Probiotika pengurai limbah organik di dalam tambak
• Bakteri fotosintetik bakteri Chtinioclastic, Lipolitic, Cellullolityc,
proteolitic bacteria.
• Molase sebagai sumber Karbon
• Tepung ikan sebagai sumber protein
• Zeolite sebagai pemberat dan pori-pori penyerap bakteri
• Pengadukan tanpa aerasi karena bakteri aerobik fakultatif
c. Probiotika yang membantu pencernaan pakan buatan di dalam tubuh udang
• Bakteri Lactobaccillus
• Gula dan air sebagai medium pertumbuhan
• Tepung ikan sebagai sumber protein
• Kanji sebagai medium pengikat untuk dilapisi di pakan (pelet)
VII. MANAJEMEN KESEHATAN UDANG
Udang yang sehat dicirikan oleh fungsi fisiologis yang normal, dan secara
fisik dapat terlihat dari pola nafsu makan, pertumbuhan, kebersihan dan
kelengkapan organ dan jaringan tubuh. Udang akan tetap dalam kondisi sehat
selama lingkungan masih mampu memberikan kondisi yang optimal dan mampu
mentolerir beban polusi internal sebagai hasil degradasi input produksi (kotoran
udang, alga yang mati dan sisa pakan).
Penyakit pada umumnya mulai terjadi pada bulan kedua pemeliharaan,
terutama pada tambak yang sejak awal mengalami kesulitan menumbuhkan
fitoplankton, sehingga klekap tumbuh yang kemudian mengalami kematian.
Kemampuan mengendalikan faktor penyebab stress dan antisipasi yang tepat
terhadap potensi serta gejala sakit akan menentukan kualitas dan kuantitas
udang pada akhir masa pemeliharaan hingga panen. Hampir semua kunci
manajemen kesehatan adalah pencegahan, namun tidak menutup kemunginan
dilakukannya pengobatan asal tidak menggunakan jenis obat yang termasuk
kategori terlarang untuk produk perikanan, seperti kloramfenikol dan nitrofuran.
7.1. Penyakit udang
Jenis penyakit yang menyerang udang windu adalah penyakit viral,
bakterial, parasiter dan faktor abiotika lainnya. Akibat serangan patogen pada
udang dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi karena terjadi kematian
atau karena penampilan udang yang kurang menarik, seperti berlumut, geripis
dan lain lain.
Diantara jenis penyakit yang paling banyak membawa kerugian karena
terjadinya kematian adalah akibat penyakit bercak putih viral (WSSV). Penyakit
jenis ini paling banyak ditemukan dan mengakibatkan kematian masal pada
budidaya udang windu, baik teknologi intensif, semiintensif dan sederhana.
Penyakit bakterial, meskipun juga ditemukan tetapi tidak banyak mengakibatkan
kerugian ekonomis, demikian juga penyakit yang disebabkan oleh parasit.
7.1.1. Penyakit viral
a. Penyakit bercak putih viral (White Spots Syndrome Virus, WSSV)
Penyakit yang paling sering ditemukan terkait dengan kematian adalah
penyakit bercak putih viral. Udang yang terserang penyakit ini menunjukkan
tanda adanya bercak putih di seluruh tubuhnya, dari karapas hingga pangkal
ekor. Penyebab penyakit bercak putih viral adalah White Spots Syndrome Virus
(WSSV), yang termasuk keluarga Nimaviridae (Gambar 15 dan 16).
Gambar 15. Virus penyebab penyakit bercak putih, kiri morfologis virus
pemotretan dengan scanning mikroskopi, kanan komponen virus
Gambar 16. Udang yang terserang bercak putih viral, terlihat bercak keputihan
pada seluruh tubuh, dan karapas udang (kiri), gambar mikroskopi
bercak (kanan)
Udang yang terserang virus bercak putih biasanya terlihat lemah,
berenang ke tepi dan mati. Kematian masal umumnya terjadi dalam jangka
waktu 3 hari sejak gejala pertama ditemukan. Apabila selain bercak putih udang
juga berlumut (Gambar 17), maka udang harus segera dipanen sebelum terjadi
kematian lebih banyak. Apabila udang terserang masih kelihatan bersih, insang
juga bersih maka perlakuan perbaikan kualitas lingkungan, pemberian vitamin C
dan pemberian ikan rucah untuk merangsang nafsu makan, masih dapat
membantu untuk penyembuhan.
Gambar 17. Selain bercak putih, udang juga berlumut. Tingkat serangan akut.
b. Infeksi Monodon Baculo Virus (MBV)
Jenis virus MBV merupakan jenis virus yang umum ditemukan dalam
budidaya udang pada sekitar tahun 1990, dan dikenal sebagai penyebab
penyakit kematian udang umur 1 bulan (one month dead syndrome). Akibat
serangan virus, banyak tambak yang gagal panen dan mengalami kematian
prematur (Tabel 9)
Tabel 9. Jenis-jenis virus yang menginfeksi udang Penaeid
No. Virus Ukuran
(nm)
Asam
nukleat
Kelas Mortalitas
1 BMN (Baculovirus mid
gland necrose)
~75x300 DsDNA Baculovirus,
nonoccluded
90%
2 BP (Baculovirus penaeid) 55-75x~300 dsDNA Baculovirus,
occluded
100%
3 HPV (Hepatopancreatic
parvo-like virus)
22-24 ssDNA Parvovirus 50%
4 IHHNV (Infectious
hematopoietic and
hypodermal necrotic
virus
22 ssDNA Parvo virus 80-90%
5 MBV (monodon
baculovirus)
~75x300 dsDNA Baculovirus,
occluded
85%
6 WSBV (white spot
baculovirus)
~80x270 dsDNA Baculovirus,
nonoccluded
100%
7 TSV (taura syndrome
virus)
30-32 ssRNA Picornavirus 80-95%
8 YHV (yellow head virus) 44x173 ssRNA ? 100%
Tabel 10. Inang yang terinfeksi virus DNA secara alami maupun eksperimental
No. Spesies Jenis virus DNA
terinfeksi BMN BP HPV IHHNV MBV WSSV
1 Penaeus monodon ++ ++ ++ ++ +++ +++
2 P. semisulcatus + ++ +
3 P. merguiensis (+) ++ ++ +++
4 P. indicus + + +++
5 Litopenaeus stylirostris ++ + +++ (+++)
6 L. vannamei +++ ++ ++ +? (+++)
Keterangan:
+++ : tingkatan infeksi berat
++ : Tingkatan infeksi sedang
+ : tingkatan infeksi ringan
( ) : infeksi secara eksperimental, dengan tingkatan serius ditunjukkan dengan tanda
Tabel 11. Inang yang terinfeksi virus RNA secara alami maupun eksperimental
No. Spesies Virus RNA
terinfeksi TSV YHV
1 P. monodon +++
2 P. semisulcatus
3 P. merguiensis +/R
4 P. indicus
5 L. stylirostris +/R (+++)
6 L. vannamei +++ (+++)
Keterangan:
+++ : tingkatan infeksi berat
++ : Tingkatan infeksi sedang
+ : tingkatan infeksi ringan
( ) : infeksi secara eksperimental, dengan tingkatan serius ditunjukkan dengan tanda
R : resistan pada uji tantang secara eksperimental (R) dan/atau kegiatan budidaya
Agensia penyebab :
Monodon Baculo Virus (MBV) merupakan virus keluarga baculovirus ,
yaitu virus bentuk batang berbahan genetik DNA untai ganda (dsDNA, double
strand deoxyribonucleic acid). Virus ini dalam inti sel inang yang terinfeksi
membentuk occlusion body. Koloni virion dengan matriks berupa protein sebagai
perekat membentuk kristal seperti bola dalam inti sel hepatopankreas udang
yang terinfeksi (Gambar 15 dan 16). Kristal virus seperti ini disebut sebagai
occlusion body. Inti sel yang terinfeksi virus umumnya membesar
(hypertrophied), berisi beberapa kristal virus yang berbentuk bulat. Jaringan
yang terinfeksi virus selanjutnya akan segera mengalami kerusakan.
c. Infectious hematopoietic and hypodermal necrotic virus (IHHNV)
Jenis virus lain yang menginfeksi udang dan mengakibatkan kerugian
adalah IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus). Udang
yang terinfeksi virus ini tumbuh kerdil (Gambar 18). Dalam satu tambak dengan
ukuran udang kerdil dengan porsi lebih dari 30% kemungkinan disebabkan oleh
IHHNV. Multiinfeksi virus juga dapat terjadi pada satu tubuh udang, misalnya
kombinasi dengan WSSV dan MBV (Monodon Baculo Virus).
Gambar 18. Penyakit udang kerdil, karena infeksi IHHNV.
Virus IHHNV merupakan virus dengan bahan asam nukleat untai tunggal
(ssDNA) dari kelas parvovirus, yang dicirikan dengan adanya benda inklusi,
inclussion body yaitu merupakan koloni virus dengan tanpa adanya matrik. Inti
sel yang terinfeksi virus biasanya membesar dibandingkan dengan normal.
Diagnosis dilakukan dengan prosedur histopatologis, jaringan
hepatopankreas menggunakan larutan fiksatif Davidson. Diagnosis positif dengan
ditemukannya benda inklusi (koloni virus tanpa matriks) dalam inti sel yang
terinfeksi (Gambar 19 dan 20).
Gambar 19. Infeksi monodon baculovirus pada hepatopankreas, terlihat
occlusion bodies (tanda panah) pada hepatosit yang terinfeksi
(kiri), sedangkan gambar kanan adalah infeksi hepatopancreatic
parvo-like virus, terlihat inclussion bodies pada inti sel hepatosit
(tanda kepala panah).
Gambar 20. Hasil elektroforesis dari produk PCR akan dihasilkan band yang
menandakan adanya infeksi virus.
Serangan penyakit dapat mengakibatkan kematian masal hingga
mencapai 100% dalam waktu yang sangat singkat yaitu hanya 2 hari sejak
gejala pertama tampak. Udang yang terserang biasanya berenang ke tepi dekat
pematang, lemah, kehilangan nafsu makan dan akhirnya mati.
Agensia penyebab :
Penyebab penyakit adalah WSSV (white spot syndrome virus) termasuk
virus berbahan genetik DNA, non-occluded virus, dan virion berbentuk batang.
Penularan penyakit yang sangat cepat, menyebabkan sulitnya penanggulangan
penyakit. Organisme penular (karier) dapat berupa rebon (mysid shrimp), udang
putih, kepiting, wideng, udang windu sendiri yang menularkan penyakit secara
horizontal. Penularan secara vertikal dapat terjadi melalui induk menular ke
larva.
Diagnosis :
Diagnosis penyakit yang paling mudah adalah apabila telah terjadi infeksi
akut, terlihat dengan timbulnya bercak putih pada bagian cephalothorax. Pada
infeksi dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer spesifik untuk WSSV.
Pengendalian penyakit :
Pengendalian penyakit dilakukan dengan teknik budidaya sistem tertutup,
yang pada prinsipnya sistem budidaya bebas virus. Sistem ini meliputi
penggunaan benih bebas virus dan lingkungan bebas virus.
Sistem seleksi benih untuk mendapatkan benih bebas virus dapat
dilakukan dengan teknik PCR (polymerase chain reaction). Benih yang terinfeksi
virus harus tidak ditebar karena potensi terjadi kegagalan panen dan sebagai
karier virus.
Penyediaan media (air media calon pemeliharaan udang) juga harus
bebas virus, yang dilakukan dengan cara melakukan pemberian kaporit (kadar
60%) pada kadar 30-40 ppm. Tujuan pemberian kaporit adalah membunuh
inang (karier) virus dan mematikan virion. Setelah perlakukan kaporit dilanjutkan
dengan menghidupkan aerator selama 3 hari untuk menetralkan air. Pemberian
inokulan fitoplankton baik berupa diatoms (misalnya Skeletonema costatum)
atau Chlorella perlu dilakukan karena fitoplankton biasanya mati pada saat
pemberian kaporit.
Cara mengendalikan penyakit adalah dengan pencegahan, melalui
penebaran benih dengan benih bebas virus. Selain itu apabila ada udang yang
pertumbuhannya abnormal dapat dieliminasi (diambil dan dikeluarkan) dari
tambak untuk mencegah penularan ke udang lain.
7.1.2. Penyakit bakterial
Kasus penyakit bakterial di tambak yang paling sering dijumpai adalah
terkait dengan udang geripis, insang hitam dan nekrosis otot. Gejala penyakit
bakterial adalah timbulnya daerah luka yang dikelilingi dengan pigmentasi
kehitaman (Gambar 21). Jenis bakteri yang paling banyak ditemukan terkait
dengan penyakit bakterial adalah Vibrio sp. Jenis bakteri selain vibrio adalah
Bacillus sp. Bakteri ini memiliki kemampuan mendegradasi kitin (chitinoclastic
bacteria).
Gambar 21. Penyakit nekrosis bakterial, insang kelihatan membusuk dan
kehitaman (kanan) dibandingkan dengan udang sehat (kiri)
7.1.3. Penyakit parasiter
Penyakit parasiter yang ditemukan pada budidaya udang windu secara
umum termasuk kategoris penyakit kulit kotor (fouling disease). Penyebab
penyakit antara lain karena penempelan protozoa dan beberapa jenis alga
benang. Jenis protozoa paling dominan adalah Zoothamnium sp. dan Vorticella
sp.
Gambar 22. Penyakit udang kotor (fouling disease), karena penempelan
protozoa (kiri) dan alga benang (kanan)
7.2. Monitoring kesehatan udang
7.2.1. Pengamatan rutin
Pengamatan secara rutin dilakukan dengan cara melihat kondisi udang di
petakan tambak, seperti pola berenang, ada tidaknya udang berenang ke tepi
ada tidaknya bercak, dan perubahan nafsu makan. Pengamatan lebih teliti
dilakukan di anco setiap saat pemberian pakan untuk melihat populasi dan
abnormalitas udang.
Desain anco untuk monitoring dibuat dengan syarat : lentur, pinggir kurang
lebih 10 – 15 cm, luas 80 x 80 cm (terhitung 100 x 100 cm2).
7.2.2. Pengamatan visual udang sehat
a. Gerakan aktif, berenang normal dan melompat bila anco diangkat
b. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan dan sentuhan
c. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas
d. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel
e. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap.
f. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung)
g. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya putih,
tidak kusam.
h. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup
i. Insang jernih dan bersih
j. Kondisi isi usus penuh dibawah sinar, dan tidak terputus-putus
7.2.3. Pencegahan penyakit
a. Keringkan tambak hingga tanah retak-retak, kupas lapisan dasar bagian
lumpur organik atau dilakukan pembalikan untuk tekstur dasar dominan pasir
hingga kedalaman 30 cm.
b. Air media dipersiapkan dengan cara didesinfeksi terlebih dahulu dengan
kaporit 30 ppm, kemudian dinetralkan dengan menghidupkan kincir selama 3
hari.
c. Sebelum penebaran benih, pastikan bahwa air telah netral, dan fitoplankton
harus sudah menunjukkan tanda pertumbuhan (dasar tambak tidak terlihat)
untuk menghindari pertumbuhan klekap.
d. Apabila klekap tumbuh dapat dikendalikan dengan memasukkan ikan
bandeng ke petakan tambak. Kepadatan bandeng disesuaikan dengan ukuran
tambak, kelebatan klekap/lumut dan ukuran bandeng. Umumnya padat tebar
bandeng sekitar 50 - 100 ekor per hektar dengan ukuran glondongan (5 - 7
cm).
e. Gunakan benih yang telah dipilah ukurannya dan telah di PCR dengan hasil
negative untuk virus WSSV dan IHHNV.
f. Tambak yang terserang penyakit harus segera diobati, kincir air yang
berputar cepat akan mampu menerbangkan partikel air hingga 6 m ke udara
dan tertiup angin keluar tambak.
g. Peralatan yang terkena penyakit dapat dicuci dengan kaporit sebanyak 100
ppm.
h. Tambak yang udangnya mati terkena virus tidak boleh dibuang langsung ke
laut atau ke dalam sistem resirkulasi, tetapi dengan terlebih dahulu
mengaplikasikan kaporit 40 ppm (bila air keruh) atau 30 ppm (bila air telah
mengendap).
Tabel 12. Standar kesiapan tambak pada penebaran benih udang
No. Parameter Kondisi Cek
1 Persiapan tambak Pengupasan,
pembalikan
V
2 Desinfeksi air media Kaporit 30 ppm V
Pertumbuhan fitoPlankton Air berwarna
kehijauan,
kecerahan 50 – 60
cm
V
4 Pertumbuhan klekap dasar dan
ganggeng
Tidak ada V
5 Benih Ukuran > 12 mm,
seragam, fisik
baik, lolos uji PCR
terhadap WSSV
dan IHHNV
V
Tabel 13. Jenis penyakit umum dan teknik pengobatannya
Jenis penyakit Gejala/ ciri-ciri Pengobatan Pengendalian
MBV (Monodon
Baculo Virus)
Udang tidak seragam,
Pertumbuhan lambat
Vitamin C 1 g/kg pakan
selama 3 bulan (vitamin C
coated, seperti Ascorbic acid
mono/poli phosphat)
Membuang udang yang
berukuran ekstrim kecil
setelah 20 hari
pemeliharaan di
pentokolan
IHHNV
(Infectious
Hypodermal and
Hemataopoietic
Necrosis Virus)
Ukuran udang tidak
seragam ekstrim, porsi
udang kecil lebih dari 30%
dari populasi
Vitamin C 3 g/kg pakan
(vitamin C coated)
Pemilihan benih bebas
virus dengan PCR
WSSV (White
Spots Syndrome
Virus)
Udang berenang ke tepi
pematang. Berenang
abnormal. Terdapat
bercak di bagian karapas
atau sudah menyebar
seluruh tubuh. Secara
mikroskopis terlihat
bercak putih dengan
bentuk bunga dan inti
kehitaman.
Vitamin C 1-3 g/kg pakan
selama 3 hari
Peptidoglycan 0.2 mg/kg
udang/ hari selama 2–3
bulan
Fucoidan (ekstrak rumput
laut) 60–100 mg/ kg udang/
hari selama 15 hari
Memilih benih bebas
virus dengan PCR.
Aplikasi air steril
Aplikasikan pagar
keliling
Vibriosis Bercak hitam pada kulit,
kotoran mengapung,
hepatopancreas putih/
kemerahan
Vitamin C 1-3 g/kg pakan
selama 3-5 hari
Buang lapisan air dasar,
sifon lumpur dengan
hati-hati pada siang
hari.
Tumbuhkan fitoplankton
Lumutan Kulit seperti berbulu,
tubuh keropos/kusam,
insang kotor
Saponin 10-15 ppm, dengan
catatan udang kondisi sehat,
umur udang lebih 30 hari.
Perlakuan saponin setelah
ganti air.
Buang lapisan lumpur
organik dan ganti air
sekitar 30%. Setelah
saponin netral dapat
dipelihara bandeng/nila
jantan 100 ekor/ha.
Insang hitam
(bakterial,
parasiter,
penempelan
kotoran)
Insang udang berwarna
coklat hingga kehitaman
Vitamin C 1 g/kg pakan. Hindarkan pertumbuhan
klekap. Kendalikan
populasi alga dengan
mengatur kecerahan
air. Pembuangan
lumpur dasar. Ganti air
sekitar 10-30%.
Penyebab belum
diketahui, dapat
ditemukan
dengan
pengamatan
reguler 10 hari
Tanpa gejala visual
Sel insang membengkak
(mikroskopis 40 x 10)
gejala Fisiologis dan virus
Vitamin C 2 g/ kg pakan
selama 3 hari berturut turut
Pergantian air 20 –
30%
Pergantian jenis pakan
7.3. Perlakuan pada abnormalitas non patogenik
a. Kulit kotor/insang kotor : sebagai akibat parasit, dan dasar tambak
kotor oleh sisa pakan. Cara mengatasinya dengan mengganti air 50 - 70 %
dan dasar dibersihkan melalui central drain, menambah jumlah kincir. Air
yang jernih pada saat bulan pertama akan merangsang tumbuhnya klekap
dasar, yang kemudian akan terjadi kematian klekap ini dan menyebabkan
pelumpuran organik di dasar tambak. Menghindari pertumbuhan klekap
dilakukan dengan pemupukan yang sesuai serta menginokulasi bibit
fitoplankton.
b. Anggota tubuh tidak lengkap : akibat terlalu padat, kurang makan, bila
menghitam akibat terserang bakteri. Cara mengataasinya dengan
meningkatkan daya dukung tambak : penggantian air, penambahan jumlah
kincir, frekuensi dan jumlah pakan yang tepat dan tambahkan feed additive
(Vitamin C).
c. Udang keropos : karena kurang makan/tidak mau makan, kualitas pakan
kurang baik, mungkin sudah tengik, kualitas air memburuk, kurang kalsium,
lama tidak ganti kulit. Pengobatan : perbaikan kualitas air dan dasar tambak,
perbaiki perhitungan populasi udang, evaluasi perbaikan nafsu makan bila
masih rendah, berikan atraktan/feed additive.
d. Udang berenang abnormal : Insang merah jambu (kurang oksigen),: bila
berbuih, ganti air lalu tambah jumlah kincir agar minimal 4 ppm pada pagi
hari. Insang kotor permanen coklat (protozoa); ganti air dan perbaiki kualitas
dasar. Insang temporer hitam (karena lumpur atau bakteri), tutup insang
membuka karena kontaminasi racun plankton, seperti Dinoflagellata
Psecothrixcola. Cara mengatasinya lakukan pergantian air dan perbaiki
dasar tambak.
e. Usus dan hepatopancreas (HP) abnormal : Usus kosong atau isi usus
terputus-putus, karena air kurang oksigen, jenis pakan tidak sesuai, pakan
rusak, atau nafsu makan hilang karena dasar tambak kotor. Kotoran berupa
lendir seperti putih susu, disebabkan karena memakan bangkai, atau kurang
pakan. Bila kotoran putih dan mengapung, HP putih/hijau muda karena
vibriosis (bakteri), maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan, pengaturan
dosis pakan dan pemberian vitamin C.
7.4. Pencegahan umum
a. Air pemeliharaan diusahakan bebas kontaminasi virus dengan melakukan
pengendapan, penyaringan air yang masuk dan perlakuan Kaporit 30 ppm.
b. Penumbuhan fitoplankton sebagai penyerap racun dan suplai vitamin C dan
B12.
c. Pemberian antibiotika dilakukan bila > 2 % populasi memiliki gejala infeksi
bakteri. Gunakan jenis antibiotika yang tidak termasuk ‘antibiotik’ terlarang,
terutama oleh negara Eropa, Amerika dan Jepang. Pemberian pakan melalui
teknik pelapisan (coating) dengan binder telur atau kanji (0.16 %) atau
agar-agar. Dosis obat : 2 ppm biomassa udang, 2 kali sehari hingga 3 hari
berturut-turut (contoh 2 gr/kg pakan). Jenis antibiotika OTC, Erythromycine,
Kanamycine.
d. Pemberian vitamin C (immunostimulant), E (Antioksidan) dan Vitamin A
(penghilang stress), B12 (nafsu makan), minyak cumi atau minyak ikan
(attraktan, sumber Omega 3), untuk pertumbuhan dan energi semuanya
diberikan melalui teknik coating/pelapisan. Vitamin C atau Vitamin B yang
dapat larut di air dapat diberikan melalui proses osmosis. Vitamin dilarutkan
dan air sebanyak 2 – 3 % dari volume ikan rucah potong segar yang belum
direndam. Campurkan selama 2 jam, setelah meresap diberikan.
Populasi udang dikatakan mengalami serangan penyakit dan harus
dilakukan tindakan apabila udang yang abnormal mencapai lebih dari 2 %
populasi dan dikatakan sudah parah dan mempertimbangkan panen bila lebih
dari 10%.
Khusus untuk gejala serangan virus (misalnya bercak putih dan sel-sel
hipertrofi) walaupun dalam jumlah sedikit, harus segera diambil tindakan.
Apabila udang terlihat bercak tetapi masih terlihat bersih bagian insangnya dapat
ditingkatkan kesehatannya dengan mengganti air dengan air kualitas baik dan
menambah kincir dan pemberian vitamin C, serta menyedot lumpur dasar.
Tetapi apabila selain bercak putih juga udang terlihat berlumut harus segera
dilakukan isolasi dan pemanenan.
Perhitungkan :
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum penebarana udang
antara lain: musim hujan dan pengaruhnya pada kondisi hidrografis lokasi
tambak setempat, seperti kekeruhan, fitoplankton, tanah masam/pirit, kematian
organisme di sekitar lokasi dan sejarah pemanfaatan tambak (berapa tahun
operasional, tingkat teknologi yang digunakan dll).
7.5. Teknik sampling, pencatatan dan analisis data
7.5.1. Monitoring bakteri air
Analisis bakteri air harus dilakukan dengan cara aseptik; botol samPLe
yang sudah steril yang disimpan dalam PLastik steril dikeluarkan dan dibuka
serta ditutup di dalam air. Sampel harus diambil pada wilayah yang mewakili
70% kondisi tambak misalnya di daerah pinggir, kedalaman 50 cm, berarus dan
jauh dari pintu pembuangan.
7.5.2. Monitoring kesehatan udang
a. sebelum pakan diberikan untuk memantau yang tidak normal atau tidak sehat
b. setelah memberi makan untuk memantau yang masih memiliki nafsu makan
baik
Titik Pengamatan :
• Dilakukan di daerah pinggir pematang (setiap saat), didaerah titik mati
(central drain atau daerah kotor)
• Dengan jala, 7-10 hari sekali, pada saat sampling rutin.
• Bila kasus penyakit sering/banyak terjadi, perlu dilakukan analisis laboratoris
Analisis penyakit bakterial dan jamur dapat dilakukan di laboratorium.
Sampel sebaiknya dalam keadaan hidup. Bila sampel sudah mati (kematian
kurang dari 15 menit) harus dimasukkan ke dalam plastik steril berlabel,
dimasukkan kedalam thermos es dengan suhu maksimum 2o C, paling lama 24
jam.
Pengamatan khusus parasit Protozoa pada kulit atau insang spesimen/
potongan udang dapat diamati dengan mikroskop 10 x 10 atau dimasukkan ke
dalam larutan formalin 10 % bila hendak dikirim ke laboratorium
Sampel untuk analisis PCR bagi pemeriksaan virus (misalnya WSSV)
harus dimasukkan ke dalam larutan Ethanol 70 %, dengan volume udang :
ethanol = 1 : 9, atau dalam formalin 10 % dalam botol berlabel untuk benih –
tokolan (juwana). Bila udang berukuran lebih dari 3 gram, udang harus
dipotong dan dimasukkan dalam larutan pengawet (fiksatif). Setelah 1 x 24
jam, Ethanol diganti seluruhnya. Udang sebagai spesimen uji WSSV harus
diambil secara acak. Untuk pembuktian dapat diambil secara terpilih dari udang
yang sekarat/stres atau baru mati dipinggir pematang.
Udang bagi pengujian virus MBV dan IHHNV dapat dipilih dari
subpopulasi yang berukuran ekstrim kecil dan berkulit kusam. Pengkodean label
harus singkat namun memberi kemampuan kita untuk melacak kejadian dengan
mudah, sebagai contoh:
Daerah ; Desa Serangan, Kabupaten Demak, Tambak A1 atau pemilik,
Januari 27, tahun 2006, Status tambak (Sakit - S, Normal - N) Portozoa/Bakteri,
Virus, Ulangan/sampel ke 2.
Maka kode dapat dibuat :
Serangan - Demak/A1/01-27-06/S/n-2
VIII. PENDUGAAN POPULASI DAN PENENTUAN PAKAN
Pendugaan populasi udang yang dipelihara merupakan faktor dengan
tingkat kesulitan yang tinggi karena harus dilakukan secara berulang-ulang dan
dengan cara yang tepat. Kegiatan ini akan sangat menentukan jumlah pakan
yang harus diberikan dan pada teknisi yang berpengalaman juga akan digunakan
sebagai acuan strategi manajemen air dan lumpur didasar tambak.
8.1. Sampling
8.1.1. Waktu sampling
a. Waktu pelaksanaan sampling idealnya pagi hari jam 07.00 atau sore setelah
jam 16.00, kincir dimatikan setengah jam sebelum sampling, diadakan
penundaan pemberian pakan sampai setelah sampling dilakukan dengan
tujuan supaya udang tersebar merata keseluruh areal.
b. Sampling dilakukan setiap 7 hari sekali, dan tidak dilakukan pada saat
kondisi moulting massal.
c. Ukuran mata jala kecil untuk udang umur 1 – 2 bulan dan ukuran mata jala
normal rantai timbal yang berat (3 kg) untuk umur udang lebih dari 2 bulan.
d. Sampling pertama sebaiknya dilakukan pada saat udang umur 1 bulan (tebar
tokolan), umur 1,5 bulan (tebar PL 12).
8.1.2. Lokasi sampling
a. Frekuensi penjalaan dilakukan beberapa kali sehingga luas penjalaan
mencakup 2% - 4% luas tambak
b. Dilakukan pada daerah pinggir dan tengah dengan perbandingan frekuensi
7:3
c. Agar mewakili penjalaan dilakukan didepan dan dibelakang kincir,
d. Kepadatan udang/m2 di kali dengan faktor koreksi sebesar 0.7 hingga 0,8.
Gambar 23. Sampling udang menggunakan jala
8.1.3. Teknik perhitungan
a. Menentukan luas jala didarat (3,14 x r2), bila timahnya berat dikurangi 20%,
contoh bila didarat 6 m2, maka luas basah adalah 4,8 – 5 m2, juga perlu
dipertimbangkan bila air lebih dari 1,2 m dengan faktor koreksi 25%.
b. Jumlah udang (ekor/m2) dikalikan luas yang dihuni udang, sama dengan
populasi.
c. Sebaiknya pelaksanaan penjalaan untuk sampling dilakukan oleh satu orang
dan luas penjalaan harus stabil.
d. Dalam proses sampling teknisi harus memperhatikan luas bukaan jala pada
setiap tebar jala (Gambar 22).
e. Jumlah penjalaan untuk masing – masing luas :
• 3000 m2 – 5000 m2, dilakukan 9 kali penjalaan.
• 5000 m2 – 10.000m2, dilakukan > 10 kali penjalaan.
Catatan : hasil sampling udang yang dibawah ukuran standar sebaiknya disortir dan tidak
dimasukkan data.
8.1.4. Pendugaan dan perkiraan biomassa
a. Data hasil sampling dikelompokkan berdasarkan lokasi titik sampling &
hasilnya menentukan homogenitas ukuran populasi.
b. Populasi x ABW (berat rata – rata) = total biomassa
c. Bila ukuran udang terlihat bervariasi, maka udang dipilah berdasarkan
perkiraan ukuran dihitung & ditimbang jumlahnya masing – masing kelompok
dan dihitung prosentasenya karena akan menentukan strategi pemberian
pakan (frekuensi dosis dan ukuran).
8.2. Penentuan dosis dan frekuensi pakan
Dosis, diet (nomor pakan), dan frekuensi pemberian pakan dilakukan
sesuai dengan umur dan ukuran udang, seperti tabel 14.
Tabel 14. Pemberian pakan yang disesuaikan dengan umur dan ukuran udang
Umur
Udang
(hari)
Berat Ratarata
Udang
(gr)
Diet Pakan
atau (No.
Pakan)
Dosis
Pakan
(%)
Frekuensi
Pemberian
per hari (kali)
Respon
Udang dalam
Anco (jam)
1 – 15
16 – 30
31 – 45
45 – 60
61 – 75
76 – 90
91 – 105
106 – 120
0,005 – 1,0
1,1 – 2,5
2,6 – 5,0
5,1 – 8,0
8,1 – 14,0
14,1 – 20,0
20,1 – 26,0
26,1 – 30,0
I (1)
I (1+2)
I+II (2+3)
II (3+4)
II (3+4)
II (4)
II+III(4+5)
III (5+6)
75 – 25
25 – 15
15 – 10
10 – 7
7 – 5
5 – 3
5 – 3
4 – 2
2 – 3
2 – 3
3 – 4
3 – 4
4 – 5
4 – 5
4 – 6
4 – 6
2,5 – 3,0
2,5 – 3,0
2,0 – 3,0
2,0 – 2,5
1,5 – 2,0
1,5 – 2,0
1,0 – 1,5
1,0 – 1,5
Keterangan :
Angka Romawi I – III adalah penomoran untuk “Diet Pakan” (Diet I =Starter, Diet II = Grower,
Diet III = Finisher).
Angka 1 s/d 6 adalah merupakan pecahan ukuran pakan dari pihak pabrik dengan istilah
“Nomor Pakan”.
Tabel 15 . Pengaturan diet setelah melihat respon udang di anco
Terlihat Perlakuan
Habis Tambah diet berikutnya 5 %
Sisa < 10 % Berikutnya Tetap
Sisa 10 –25 % Kurangi diet berikutnya 10 %
Sisa 25 – 30 % Kurangi diet berikutnya 30 %
Sisa 50 % Kurangi diet berikutnya 50 %
8.2.1. Pengaturan pemberian pakan
a. Penghitungan jumlah pakan bisa dilakukan dengan FCR balik yaitu
dengan membagi FCR yang sudah ditargetkan dengan membagi
masing – masing bulan (bulan I – IV).
b. Pemberian pakan pada benih yang baru ditebar dihitung sebagai
contoh 100.000 PL X 0,01 gr = 1.000 gr. Untuk tambak yang gersang
(miskin pakan alami) diberikan 100% biomass setiap kali makan (1
kg). Untuk tambak yang kaya akan zooplankton pemberian 50%
biomass.
c. Cara pemberian pakan, pada bulan awal pemeliharaan pakan dalam
bentuk crumble, maka perlu dibasahi sedikit agar tidak tertiup angin,
serta mudah tenggelam ke dalam air.
Pemberian pakan dapat ditambahkan atau dikurangi dari pakan yang
seharusnya apabila berada pada kondisi sebagai berikut :
a. 5 – 7 hari menjelang purnama pakan ditambah 10%.
b. Pada saat purnama atau kondisi moulting massal yang ditandai
dengan banyaknya cangkang yang ditemui dipermukaan air atau di
ancho, maka pakan dikurangi sebanyak 10 - 20%.
c. Pada saat suhu kurang dari 250 C (pada kondisi dini hari/musim
bediding sekitar Juli – September di pulau Jawa) pakan dikurangi
30%.
d. Penurunan kualitas air seperti : pH lebih dari 8,9; alkalinitas kurang
dari 100 ppm; oksigen kurang dari 2,5 ppm pakan diberikan sesuai
dengan laju konsumsi di anco dan aktivitas udang mencari pakan
disepanjang pematang (Tabel 13).
Bila didapati kelompok ukuran udang yang berbeda pada bulan kedua
atau ketiga, udang besar diberi pakan sesuai dengan prosentase populasinya,
setengah jam kemudian diberikan untuk porsi udang yang kecil. Cara kedua
pakan dibagi atas porsi masing–masing ukuran dan diberikan serentak.
8.2.2. Istilah pada perhitungan populasi dan pertumbuhan
a. Pengertian Istilah
ABW (Average Body Weight)---Adalah berat rata-rata udang hasil sampling
ABW (gram/ ekor) = berat udang satu jala : jumlah udang satu jala
ADG (Average Daily Gain)---Adalah pertambahan berat-rata-rata harian yang
biasanya dihitung setiap 10 hari
ADG (gram/ekor/hari) = (ABW sekarang - ABW 10 hari sebelumnya) : 10
S.R (Survival Rate - Kelangsungan Hidup)---Adalah perkiraan tingkat kehidupan
udang sekarang dibandingkan saat penebaran.
SR (%) = ((Jumlah populasi/ jala x luas tambak) : jumlah Penebaran) x 100 %
b. Tabel isian harian
Sebuah papan pencatatan data harian harus ditulis di papan tulis putih (White
board) dengan isi data yang mencerminkan perkembangan kondisi tambak
minimal hingga 4 hari ke belakang. Penulisan hendaknya menggunakan
spidol/marker white board hitam atau hijau sedangkan hal-hal kritis seperti DO
rendah, temperatur rendah atau sisa pakan dicatat oleh spidol berwarna merah.
Contoh tabel isian harian
Nafsu makan
di anco
Jumlah
pakan
Temp/
T salinitas
g
l
Jam Sisa
Perkiraan
Biomas Jam Jml
Kecerahan
(cm)
Warna
Air/transparansi
(cm)
pH
D.O
pagi
T S
% ganti
air
IX. PENENTUAN DAN STRATEGI PANEN
Panen merupakan kegiatan akhir dalam suatu proses produksi.
Keuntungan serta keberhasilan akan ditentukan pada kegiatan ini. Banyak faktor
teknis dan pertimbangan pasar yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan
panen yang akan diuraikan pada petunjuk di bawah ini.
9.1. Pertimbangan panen
Ada dua pertimbangan utama dalam menentukan panen, yaitu faktor
internal dan eksternal.
Pertimbangan internal tambak, antara lain :
a. menurunnya daya dukung lingkungan
b. pertumbuhan udang melambat
c. adanya gejala penyakit
d. masa pemeliharaan telah mencukupi
Pertimbangan eksternal, antara lain :
a. Faktor keamanan
b. Musim/cuaca
c. Harga pasar
d. Kondisi pasang surut
e. Kualitas air pasok tidak mendukung
f. Adanya wabah penyakit di sekitar tambak
9.2. Penentuan waktu panen
Panen sebaiknya dilakukan pada malam hari agar udang yang dipanen
tidak cepat rusak karena suhu tinggi. Sebagai konsekuensinya sarana
penerangan harus disediakan dalam jumlah yang cukup. Apabila konstruksi
tambak ideal, dan sarana panen mencukupi maka panen dapat dilakukan setiap
saat sesuai dengan kebutuhan.
Pemanenan juga harus memperhatikan cuaca dan periode bulan. Pada
musim hujan atau bulan purnama banyak udang yang berganti kulit/molting
sehingga harus dipertimbangkan agar harga udang dapat dijual dengan harga
maksimal. Pemanenan setelah musim udang molting adalah yang terbaik.
9.3. Strategi pelaksanaan
a. Mengurangi udang molting
• Pergantian air dalam jumlah diatas normal maksimum dilakukan 3 hari
sebelum panen.
• Bila didapati banyak udang molting (> 5%), maka semalam sebelum
panen tambak diberi kapur, sebanyak 2 ppm, bisa diulangi dengan dosis
yang sama 5 jam sebelum panen bila kondisi udang masih banyak yang
lunak. Dengan cara ini kulit udang akan cepat mengeras.
b. Teknik sampling untuk panen
• Untuk mendapatkan taksiran ukuran udang yang mendekati sebenarnya,
maka sampling dilakukan 1 jam sebelum pemberian pakan
• Keseragaman ukuran udang pada saat panen dapat dilakukan dengan
sortasi terhadap udang kecil (undersize), 1.5 bulan sebelumnya melalui
penjalaan berkali-kali.
c. Teknik panen
Panen harus dilakukan secepat mungkin dengan perhitungan sarana telah
tersedia dalam jumlah yang cukup diantaranya :
• Pintu air yang dapat dipasangi jaring kantung panen
• Pagar bambu (kerei) rapat sebagai pencegah lolosnya udang
• Pompa bantu untuk mempercepat pengeringan tambak
• Wadah pencucian udang secara cepat
• Wadah pendinginan 500 liter berisi es sehingga udang mati pada suhu
tubuh 5o C.
Air diturunkan hingga tinggal 50 %, selanjutnya saringan kantung
dipasang di luar pintu air. Agar arus air tidak terlalu deras, perbedaan air di
dalam dan saluran diusahakan maksimum hanya 40 cm sehingga udang tidak
rusak.
Beberapa tambak sulit dikeringkan secara gravitasi. Untuk tambak seperti
ini dapat dilakukan penjalaan pada daerah yang jauh dari pintu air panen pada
saat air tambak tinggal 30 cm (Gambar 24). Kemudian, perlu diusahakan agar
udang dapat mengumpul disekitar pintu. Mengoperasikan jaring angkat/branjang
(lift net) dapat membantu mempercepat pemanenan.
Gambar 24. Panen dengan menggunakan jala tebar
d. Cara penjualan
• Dijual langsung ke cold storage
• Dijual dengan sistem lelang
e. Pasca panen
Udang akan berkualitas baik di tangan konsumen akhir apabila sejak
panen ditangani dengan teknik yang standar, antara lain:
• Mengangkut udang dari tambak secepatnya untuk dibersihkan
• Membilas udang dengan air bersih
• Mematikan udang dengan air es (es curah) pada suhu 10o C selama 3 – 5
menit
• Memilah udang berdasaran ukuran dan kualitas (Gambar 25)
• Segera menimbang udang
• Memberi es pada udang yang telah dipilah dengan berselang masingmasing
setebal 10 cm.
Gambar 25. Sortir udang berdasarkan ukuran dan kualitas
Dengan cara di atas, penurunan kualitas dan rasa udang hampir tidak
terjadi dan pembeli di luar negeri akan menghargainya dengan memberi harga
lebih tinggi.
X. ANALISA USAHA
Analisa usaha secara sederhana untuk usaha budidaya udang windu
dengan teknologi intensif dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Analisa Usaha Budidaya Udang Windu Teknologi Intensif
No. Komponen Jumlah Nilai
Satuan
Harga/Unit
(Rp.)
Jumlah
(Rp.)
I Investasi
Sewa tambak (1,5 ha/th) 1,5 ha 3.000.000,- 4.500.000,-
Pompa 6” lengkap 2 unit 4.500.000,- 9.000.000.-
Kincir berangkai 2 unit 6.000.000,- 12.000.000,-
Peralatan lapangan (jala,
ember dll)
1 paket 1.000.000,- 1.000.000,-
Perbaikan konstruksi tambak 1,5 hektar 2.000.000,- 3.000.000,-
Jumlah I 29.500.000,-
II Biaya Operasional/siklus
(5 bulan)
a. Biaya tetap
Sewa tambak (1 ha/siklus) 2.250.000,-
Penyusutan pompa
(10%/siklus)
1.700.000,-
Penyusutan kincir
(10%/siklus)
2.500.000,-
Penyusutan peralatan
lapangan (25%/siklus)
250.000,-
Penyusutan kontruksi
tambak (25%/siklus)
750.000,-
Jumlah II a 7.450.000,-
b Biaya tidak tetap (biaya
variabel)
Persiapan lahan 1,5 ha 1.000.000,- 1.500.000,-
Benih 300.000 ekor 35,- 10.500.000,-
Pakan 7.000 kg 9.200,- 64.400.000,-
Probiotik 200 liter 40.000,- 8.000.000,-
Kaporit 70 galon 135.000,- 9.450.000,-
Inokulan plankton 20 ton 35.000,- 700.000,-
Pupuk an organik 200 kg 1.600,- 320.000,-
Kapur 2.000 kg 450,- 900.000,-
BBM (kincir, pompa dll) 5.000 liter 5.000,- 25.000.000,-
Tenaga kerja (2 x 5 orang) 10 OB 750.000,- 7.500.000,-
Biaya panen 2 unit 1.000.000,- 2.000.000,-
Jumlah II b 130.270.000,-
Total biaya operasional
(IIa+IIb)
Per siklus (5 bulan) 130.270.000,-
Per tahun (2 siklus) 260.540.000,-
III Produksi
Kelangsungan hidup 65% ukuran panen
35 gram/ekor, harga jual Rp. 50.000,-/kg,
produksi 2 kali pertahun
Pendapatan dari produksi :
65% x 300.000 ekor x 25 gram (persiklus) 4.875 kg 50.000,- 243.750.000,-
Per tahun 2 siklus 9.750 kg 50.000,- 487.500.000,-
IV Suku bunga investasi per tahun 20 % 5.900.000,-
V Keuntungan bersih sebelum pajak
Per hektar/sikuls 113.480.000,-
Per hektar/tahun (2 siklus) 226.960.000,-
VI Rentabililitas ekonomi 78%
VII B/C Ratio 1.87
VIII Pay back periode(tahun) 1.2
Keterangan :
Dinilai dari rentabilitas ekonomi (78% > 20%) dan B/C ratio (1,87 > 1), maka usaha
budidaya udang windu intensif layak dilakukan. Tentu saja harus menerapkan
keseluruhan standar prosedur yang dipersyaratkan.
Komentar
Posting Komentar